Duduk Paling Depan: isi hati dan kepala
Menjadi Mandiri

Menjadi Mandiri



Saya pikir saya adalah perempuan yang mandiri. Karena saya bisa mengemudi kendaraan roda dua dan roda empat, saya bisa mencari uang sendiri sejak umur 19 tahun, saya juga bisa mengurus rumah dan anak. 

Tapi ternyata mandiri nggak bisa hanya didefinisikan begitu saja. Ketika saya masih menggantungkan bahagia saya dengan orang lain, saya belum mandiri. 

Saya takut dengan kehilangan, padahal nggak ada sesuatu yang abadi yang bisa kita miliki di dunia ini. 

Misalnya tentang pasangan. 

Entah kenapa saya tipe orang yang menggantungkan seluruh kebahagiaan saya dengan pasangan. Saya berekspetasi penuh bahwa pasangan akan membahagiakan saya. Seutuhnya. Selamanya.

Kenyataannya pasangan saya hanya manusia biasa. Dia tentu bisa membuat saya sedih dan kecewa, begitu pula sebaliknya. Saya pun bisa menyakitinya. 

Hidup nggak bisa berjalan sesuai dengan apa yang saya mau sekali pun saya sudah menyusun rencana indah sedemikian rupa. Sekali pun rencana itu sudah saya wujudkan dengan usaha. 

Dulu saya selalu membayangkan skenario paling menyedihkan jika tiba-tiba ditinggal pergi pasangan saya untuk selamanya. 

Padahal harusnya nggak seperti itu.

Saya dan suami pernah berdiskusi apa yang sebaiknya dilakukan ketika salah satu dari kami takdirnya pergi duluan. 

Sedih, pasti. Tapi jangan berlarut. 

Pikirkan langkah selanjutnya. Urus segala utang piutang dan aset untuk melanjutkan hidup bersama anak. 

Tata hati dan susun rencana dimana akan tinggal selanjutnya mengingat tempat tinggal kami sekarang hanyalah perantauan. 

Tegakkan kepala untuk melanjutkan hidup. Jika mau, bukalah hati untuk orang lain yang kiranya bisa membahagiakan dan bisa bertanggung jawab. 

Ya, itulah hal-hal yang kami sepakati. 

Dengan membahas seperti itu, saya jadi membuang skenario menyedihkan sebelumnya. 

Bukan karena nggak cinta, tapi mandiri yang sesungguhnya seperti itu. Nggak kehilangan pijakan sekalipun orang yang selama ini menjadi tumpuan harus pergi duluan.

Begitu pula dengan kedua orang tua. Mereka kini masih ada. Tapi lagi-lagi kematian itu pasti adanya, kan?

Sedih itu pasti, tapi semoga nggak ada penyesalan karena belum cukup berbakti. 

Ya, saya ingin menjadi mandiri.

Bukan hanya perkara bisa mencari uang sendiri, tapi juga kuat terhadap apapun masalah yang menerpa ke depannya nanti. 

Entah itu kepergian, kehilangan, kemalangan, saya ingin bisa kuat menjalaninya.

Mandiri. 

Agar anak saya juga bisa melihat, wanita yang melahirkannya adalah wanita yang kuat. Yang bisa mengabdi dan berbakti pada orang-orang yang memang seharusnya ia hormati, namun ketika orang-orang itu harus pergi, ia masih bisa tegap berdiri di atas kakinya sendiri. 

Mandiri.

Sehingga ia tak mudah tergoda pada kebahagiaan semu yang dikemas sedemikian rupa. Kenapa ia mesti mengharapkan orang lain wajib membahagiakannya sementara ia bisa membahagiakan dirinya sendiri?

Mandiri. 

Agar ia tak banyak berharap menerima. Namun bisa banyak memberi.



Positif

Positif

pengalaman positif covid

Gejala Awal

Sekitar seminggu yang lalu, ketika pulang kantor saya melihat suami sudah rebahan di tempat tidur dengan selimut tebal. Katanya meriang. Saya pikir mungkin memang nggak enak badan, dan butuh istirahat.

Besok paginya, ternyata suami saya demam dan dia bilang badannya sakit-sakit. Akhirnya saya larang ke kantor. 

Di pikiran saya masih menganggap suami saya sakit biasa, minum paracetamol juga nanti cepat sembuh. 

Siangnya suami nelpon kalau keadaannya makin nggak enak, dia ukur sendiri suhu tubuhnya sampai 40derajat celcius. Saya langsung buru-buru pulang ke rumah. 

Meski sudah minum Paracetamol, tapi suami saya ngerasa nggak ada perubahan. Saya bantu dengan kompres air hangat, dan bikinin sop biar dia bisa makan. 

Setelah itu saya hubungi dokter yang kami biasa berobat melalui Whatsapp, ketika saya ceritakan gejala yang dialami suami, dokternya langsung bilang "mau dirapid aja nggak?"

Hueeee masak covid sih? Tapi saya tetap bilang ke suami, dan bujuk dia supaya mau dirapid atas saran dokter. Bagaimanapun juga, saya pikir akan lebih baik tahu dari awal daripada cuek terus nanti malah parah dan obatnya nggak sesuai dengan sakitnya.

Akhirnya suami saya mau, kami berdua berangkat ke puskesmas. Pertama, suami saya dirapid antigen. Hasilnya ternyata positif. Hati saya langsung mencelos, sedih, cemas, campur aduk.





Otomatis saya juga harus rapid. Hasilnya negatif. Agak sedikit lega rasanya. Senggaknya saya masih bisa keluar rumah untuk beli segala keperluan suami dan ngurusin dia selama isolasi mandiri.

Pengalaman Merawat Suami yang Positif Covid-19


Atas saran dokter, suami isolasi di rumah saja. Kebetulan di rumah ada kamar tidur lain yang juga ada kamar mandinya.

Pulang dari dokter suami langsung masuk kamar, dan saya menyiapkan segala keperluannya. 



Termasuk mencari obat, karena apotik yang disarankan dokternya malah tutup, saya jadi kesana kemari untuk nyari obatnya. Syukurnya ketemu. 

Untuk obatnya, nggak saya share di sini ya. Karena beda orang, beda kondisi, pasti penanganannya juga berbeda.

Urusan makanan juga saya sediakan baik beli ataupun masak sendiri. Makanannya saya taruh di meja kecil di depan pintu kamarnya, nanti saya panggil baru suami keluar untuk ambil. 

Jujur ada rasa sedih banget. Nangis sih udah pasti. Kepikiran gimana kalau keadaan suami makin memburuk?

Terus saya jadi merasakan nggak enaknya pisah tidur sama suami, serumah tapi kalau mau ngobrol lewat chat atau video call. Belum lagi anak kami yang kebangun di tengah malam terus nangis nyariin babanya. 

Pekerjaan rumah dan urusan anak yang biasanya bagi dua dengan suami, harus saya kerjakan sendiri. Tapi karena ini juga saya jadi tahu ternyata saya tuh kuat juga angkat galon, soalnya sebelumnya urusan galon itu urusan suami.

Hari kedua demam suami sudah agak berkurang, tapi batuknya tambah parah. Dia bilang dahaknya kemerahan. Saya hanya bisa kasih support dan bilangin bahwa dia harus rutin minum obatnya. 

Lanjut Swab PCR dan Hasilnya.....



Karena sebelumnya hanya tes rapid antigen, tentu harus dilanjutkan dengan swab. Saya pikir hasilnya nanti akan sama dengan hasil rapid. 

Ternyata sehari setelah swab, dokter ngasih tahu kalau saya dan suami positif Covid-19. Air mata langsung reflek ngalir. Saya dan suami sempat nangis. 

Kok bisa? Padahal saya nggak ada gejala. Tapi ya namanya saya berinteraksi dengan suami, mungkin sudah tertular dari sebelum dia isolasi mandiri. 

Saya langsung nelpon orang tua untuk ngabarin, dan mereka kasih saya semangat untuk jangan cemas dan jalani saja arahan dokter.

Untungnya sedih saya nggak lama, karena namanya sudah takdir ya harus dijalani. Hikmahnya, saya dan suami jadi boleh gabung karena sama-sama positif. 

Reaksi Orang Sekitar Ketika Tahu Saya dan Suami Hasilnya Positif


Saya memang langsung mengabari atasan di kantor untuk urusan absensi saya dan suami. Dari pihak kantor Alhamdulillah suportif dan mendoakan semoga cepat pulih.

Saya juga bikin status di story WA dan IG pribadi. Karena Covid bukan aib, justru saya butuh do'a dari banyak orang. 

Respon yang saya dapatkan semuanya mendo'akan agar cepat sembuh, nyaranin untuk minum vitamin, istirahat yang cukup, dan sebagainya.

Ada juga yang nanya saya butuh apa untuk keperluan isolasi mandiri dan mereka mau membantu membelikan. Mengingat saya dan suami juga nggak ada keluarga di sini.

Jujur reaksi itu membuat saya terharu. Meski keluarga saya jauh, tapi masih ada orang-orang baik yang mau membantu. 

Terharu

Teman-teman saya juga banyak yang nanyain anak saya gimana? Anak saya memang nggak tes. Tapi dari awal dia kan sudah kontak erat sama saya. Saran dokter pantau aja, ada gejala atau nggak, dan kasih vitamin.

Alhamdulillah sudah seminggu kami isoman, saya dan anak nggak ada gejala sakit. Suami juga sudah jauh membaik. Mungkin juga ini karena saya dan suami sudah vaksin, Alhamdulillah jadi hanya gejala ringan.

Cara Saya Menghibur Diri Saat Isoman 


Jujur awal-awalnya saya kena mental. Saat tahu suami duluan yang positif itu aja sudah bikin saya mewek. Pas tahu saya juga positif, saya juga nangis. 

Gimana nggak, saya baru aja melewati masalah yang berat. Alhamdulillah saya sudah mendapatkan hikmahnya dengan mendapatkan pelajaran yang mahal harganya.

Tapi saya nggak nyangka dapat cobaan berikutnya secepat ini. Rasanya tuh kayak "Ya Allah, kenapa nggak ada jeda? Kenapa nggak biarin saya tenang dulu? Kenapa? Kenapa? Kenapa?" 

Untungnya support orang sekitar bikin saya lebih tenang. Saya juga ngobrol sama orang tua saya. Papa saya bilang ini sudah takdir. Hal baik dan hal buruk PASTI akan terjadi jika sudah takdirnya. Hanya saja kita nggak boleh berhenti ikhtiar.

Begitu juga dengan perhatian teman-teman yang bantuin saya beliin keperluan selama isoman, nanyain keadaan tiap hari, do'ain cepat sembuh, itu bikin saya merasa senang karena dikelilingi orang-orang baik. 

Walaupun saya akui di rumah aja, suntuknya luar biasa. Karena saya kerja di lapas, jadi berasa kayak tahanan/napi yang nggak boleh kemana-kemana. 

Ada masanya juga mental up and down. Bahkan saya jadi berantem sama suami karena hal kecil, terus setelahnya kami saling minta maaf dan sadar bahwa ini efek stres karena nggak keluar-keluar rumah.

Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya kami nonton yang lucu-lucu, saya juga jadi rajin masak, mengatur lagi tanaman-tanaman di halaman, dan bikin-bikin konten. 

Tetap Bersyukur


Saya berusaha tetap bersyukur karena meski positif Covid-19 dan harus isolasi mandiri, namun kebutuhan saya tercukupi.

Bahan makanan ada, obat-obatan sudah dibeli, rumah yang cukup luas, koneksi internet, serta saya dan anak yang nggak ada gejala dan suami yang semakin membaik.

Karena masih banyak juga orang-orang yang positif, tapi kesulitan untuk isolasi mandiri atau di rumah sakit karena terkendala biaya dan fasilitas di rumah yang nggak memadai.

Apa lagi kalau yang positif itu tulang punggung keluarga yang kerjanya harian. Nggak kerja, nggak makan. Kerja, tapi punya kemungkinan menularkan virus. Terus gimana dengan anggota keluarga yang lainnya?

Memang pemerintah pasti sudah punya program bantuannya, tapi yang diurus pemerintah juga bukan hanya itu kan. Belum lagi program vaksin yang harus kejar target. 

Untuk itu sudah seharusnya kita gotong royong membantu sesama, terutama mereka yang positif covid-19 dari kalangan kurang mampu.

Caranya bisa lihat tetangga sekitar, kalau ada yang positif dan kurang mampu mungkin bisa urunan dengan tetangga lainnya untuk membantu menutupi kebutuhannya selama isolasi.

Bisa juga dengan berdonasi di lembaga zakat. Saya memilih Kitabisa.com karena programnya banyak dan amanah. 




Di kitabisa.com kita bisa donasi mulai dari seribu rupiah aja melalui aplikasinya dan mulai sepuluh ribu jika dari websitenya. Bayarnya bisa transfer atau menggunakan berbagai dompet digital.

Saling Bantu Lawan Covid-19 

Tetap Ikhtiar dan Berdo'a


Sekarang saya masih menunggu jadwal swab berikutnya. Semoga saja hasilnya negatif. Sehingga bisa kerja lagi, dan beraktifitas seperti biasa. 

Untuk teman-teman yang masih sehat, tetap jaga kesehatan dan ikuti prokes dengan baik dan benar ya. Karena bukan hanya sakit fisiknya yang menyakitkan dari corona, namun berpisah sementara dengan orang-orang tersayang juga menyakitkan. 

Semoga kita semua diberikan kesehatan dan kekuatan untuk terus berperang melawan pandemi ini. 

Do'akan saya dan suami cepat pulih ya. 




 



Pelajaran yang Mahal Harganya

Pelajaran yang Mahal Harganya




Dulu saya pernah menemukan kalimat bijak di sampul buku seperti ini "Pengalaman adalah pelajaran yang mahal harganya". Waktu itu saya belum terlalu paham kenapa pengalaman disebut pelajaran yang harus kita bayar mahal. 
Satu, dua, tiga.

Satu, dua, tiga.


Pada cermin yang berdiri di dinding, ia lihat ada bayangan yang tak sama. 

Satu, dua, tiga. Mereka memperlihatkan banyak warna. 

Satu, ia yang berusaha kau tunjukkan pada semua orang. 

Dua, ia yang hanya membagikannya pada sebagian kecil. 

Tiga, ia yang kau tanggung sendirian. 

Satu, ia yang berusaha menyenangkan semua orang. 

Dua, ia yang tahu bahwa tidak semua orang menyukainya. 

Tiga, ia yang sering merasa susah sekali untuk dicintai. 

Satu, ia yang merasa bisa menguatkan orang di sekitarnya. 

Dua, ia yang ternyata juga butuh dikuatkan.

Tiga, ia yang rapuh dalam kesendirian.

Satu, ia yang menutup luka dengan tawa.

Dua, ia yang menghadapi luka dengan tangis.

Tiga, ia yang merawat luka dengan membuka luka baru. 

Satu, ia yang ingin menjadi baik.

Dua, ia yang tahu tidak ada manusia yang seutuhnya baik. 

Tiga, ia yang memilih menjadi jahat.

Satu, dua, tiga, mereka selalu ada. Erat. Berkaitan. Saling menyembuhkan, saling melukai.

Bersama Tapi Tak Bahagia

Bersama Tapi Tak Bahagia

Setiap pasangan yang menikah pasti ingin bahagia, tapi jalan hidup nggak ada yang tahu, kan? Apa lagi sering kali setelah menikah, seluruh sifat asli pasangan dan keluarganya akan terbuka. 

Bisa jadi hal itu membuat kita menjadi nggak nyaman dan sadar, bahwa kita nggak cocok dengan sifat-sifat tersebut. 

Terus kalau pernikahan yang dijalani nggak bikin bahagia, kenapa terus-terusan mempertahankannya? 

Kasih Sayang yang Harus Dibiasakan

Kasih Sayang yang Harus Dibiasakan


Dulu waktu masih SD, tapi saya lupa tepatnya kelas berapa saya sering main ke rumah salah satu teman. Saking seringnya, tentu saya sering pula ketemu ayah dan ibunya. Dua-duanya pribadi yang ramah sama saya dan teman-teman lain yang main kesitu. 

Tapi, yang saya heran banget teman saya itu jarang banget ngobrol sama ayahnya. Biasanya dia hanya akan menegur ayahnya kalau disuruh ibunya untuk mengingatkan makan misalnya. 
Warisan dari Orang Tua

Warisan dari Orang Tua


Warisan biasanya diberikan kepada ahli waris jika pewaris tersebut telah meninggal. Tapi saya beruntung bisa mendapatkan warisan dari orang tua saat mereka masih ada, masih sehat walafiat. 
Cantik

Cantik

Cantik

Cantik.

Satu kata yang dulu bagi saya rasanya jauh banget. Ya, saya nggak cantik. Menurut orang-orang begitu, menurut kaca di depan saya juga begitu.  
Terharu

Terharu


Belakangan ini semangat saya bikin konten, benar-benar menurun. Baik itu di blog, atau di Instagram jadi jarang banget ngepost. Memang sih, ada beberapa kejadian yang agak nyesek belakangan ini sehingga membuat saya down dan nggak mood buat nulis.