Duduk Paling Depan: Inspiratif
Pengalaman Mengambil Ijazah di Universitas Terbuka (UT)

Pengalaman Mengambil Ijazah di Universitas Terbuka (UT)



Tulisan saya yang berbagi pengalaman mengerjakan karya ilmiah UT ternyata cukup ramai dibaca. Nah sekalian deh saya cerita pengalaman saya mengambil ijazah di UT.


Hampir 10 Bulan Menunggu


Alhamdulillah akhir tahun 2020 saya menyelesaikan semua mata kuliah dan mengikuti UAS terakhir. Kemudian nilai semester terakhir keluar bulan Februari 2021. 


Nah, selanjutnya saya mendapat pengumuman sebagai mahasiswa yang telah lulus menyelesaikan semua mata kuliahnya dan berhak mengikuti wisuda itu pada akhir Mei 2021. 


Setelah itu saya diharuskan mengirimkan formulir data diri dan pas foto ke UPBJJ tempat saya, yaitu UPBJJ Jambi. 


Status ijazah bisa dipantau melalui situs aksi.ut.ac.id ya. Itulah yang saya suka dari sistem UT ini semua serba online dan dipermudah. 


Barulah pada bulan Oktober 2021 saya dikabarkan melalui grup WhatsApp kalau sudah bisa ambil ijazah dan mengikuti wisuda daring. 


Iya, sayangnya waktu itu masih pandemi jadi wisudanya dari rumah masing-masing secara online. Meski begitu saya tetap foto-foto di studio dengan keluarga pakai kebaya dan toga, biar berasa vibes wisudanya sekaligus kenang-kenangan juga. 


Cara Mengurus Pengambilan Ijazah di Universitas Terbuka (UT)


Sebelum mengambil ijazah, semua peserta calon wisudawan wajib mengisi formulir secara online untuk data diri sekaligus memilih tempat mengambil ijazah. 


Jadi memang ijazah bisa diambil di kantor UPBJJ atau diambil di pokjar kota/kabupaten masing-masing. Saya memilih ambil di kantor UPBJJnya langsung karena sekalian mau ke tempat keluarga. 


Di kantor UPBJJnya, saya bilang ke petugas yang ada di front office mau ambil ijazah. Lalu saya diminta menyerahkan kartu mahasiswa, baru deh diambilin segala keperluannya berupa ijazah dan baju toga. 


Nah, salutnya ternyata saya nggak perlu bayar sepeserpun untuk pengambilan ijazah dan baju toga ini.

 

Padahal ijazah dan transkrip nilainya nggak diberikan dalam map kertas atau plastik aja, tapi dalam map yang bagus dan ekslusif. Baju toganya juga dikemas pakai totebag. Keren banget deh UT, padahal setiap semester kita juga cuma bayar SKS aja, nggak ada bayaraan tambahan, jadi ini semua murni dari kampus. 


Setelah itu juga saya difotoin sama petugas disana, buat ditampilkan saat wisuda daring. Fotonya juga gratis ya. 


Hanya saja ada biaya legalisir, 50ribu untuk 7rangkap masing-masing ijazah dan transkrip nilai. It's okay, nggak apa-apa banget, ini murah banget dengan segala fasilitas yang diberikan. 


Setelah ambil ijazah besoknya saya foto keluarga. Seminggu kemudian baru wisuda daring yang saya ikuti dari rumah.




Sayangnya saya nggak merasakan vibes wisuda di gedung yang rame-rame gitu. 


Bedanya tahun ini, giliran suami saya yang wisuda dari UT. Karena pandemi sudah mereda, jadi wisudanya diadakan luring/offline di salah satu gedung mewah di Jambi.


Rangkaian acara wisudanya dilakukan dua hari, hari pertama seminar akademik dan gladi resik. Hari kedua acara inti wisuda sekaligus penyerahan ijazah. 


Kerennya lagi, itu semua gratis. Termasuk nanti baju toga dan snack pas acaranya. Tinggal bayar keperluan pribadi kayak penginapan kalau dari luar kota, dan biaya makan. 


Huhuhu, mantep banget deh Universitas Terbuka (UT) benar-benar support agar semua orang, dari berbagai kalangan, bisa kuliah dan wisuda. Biaya kuliahnya terjangkau, bahkan ada beasiswa, pas wisuda nggak dibebani biaya apa-apa. 


Semoga makin banyak yang tahu tentang kemudahan pendaftaran dan fasilitas yang ada di UT. Jadi nggak memutuskan harapan anak bangsa yang mau meneruskan pendidikan sampai jenjang Universitas.


Saya juga kalau ada dananya mau banget lanjut S2 di UT. Doain yaaa ada rezekinya. 


Ijazah Lulusan UT Sangat Terpakai 


Oh ya hasil ijazahnya kemudian kepakai banget, karena pertengahan tahun 2022 saya ada ujian penyesuaian ijazah. UT termasuk universitas yang diterima untuk penyesuaian ijazah ASN tanpa pandang jarak kampus-kantor. Jadi pas pendaftaran administrasi saya lancar-lancar aja.


Baca juga : Semua Orang Bisa Kuliah di UT


Setelah melewati proses ujian dan pembuatan karya tulis ilmiah, Alhamdulillah saya dinyatakan lulus. Sekarang tinggal menunggu SK kenaikan pangkat/golongan. Nggak henti-hentinya mengucap syukur sama Allah, dan terimakasih kepada semua pihak yang sudah support saya. 


Termasuk UT, kampus yang sangat membantu saya berkuliah sambil kerja dan mengurus rumah tangga. Hahaha jadi ingat masa-masa ujian dengan perut gendut karena hamil, dan ujian dengan ditungguin bayi karena masih menyusui.


Semua sudah dilalui dengan cerita suka duka. Semoga sharing saya bermanfaat dan jadi motivasi buat teman-teman yang sedang berjuang menyelesaikan perkuliahannya di UT ya. 


Dua Mata Pisau Media Sosial

Dua Mata Pisau Media Sosial


Dua mata pisau media sosial


Sejak kenal internet saya memang tertarik dengan media sosial atau apapun wadah dunia maya yang bisa menambah pertemanan. 

Waktu SMP sih saya nyobanya Yahoo Messenger, terus naik ke Friendster, pernah juga main MIRC, booming Facebook ya bikin juga. Begitu juga dengan BBM, Instagram, Path, dan Twitter.

Saya menemukan candu tersendiri dengan aneka ragam media sosial ini. Rasanya saya bisa mengekspresikan diri lebih banyak dan jangkauannya lebih luas dibanding di kehidupan nyata. 

Cantik

Cantik

Cantik

Cantik.

Satu kata yang dulu bagi saya rasanya jauh banget. Ya, saya nggak cantik. Menurut orang-orang begitu, menurut kaca di depan saya juga begitu.  
Kawin Lari

Kawin Lari


Bukan, ini bukan artikel review film atau novel yang berjudul "Kawin Lari". Tapi saya mau menceritakan kisah masa kecil saya sebagai anak kepala KUA (Kantor Urusan Agama) yang menyaksikan orang-orang yang datang ke rumah ingin bertemu papa saya untuk berkonsultasi entah itu tentang pernikahan atau perceraian.
Cara Mengatasi Overthinking

Cara Mengatasi Overthinking

Cara Mengatasi Overthinking

Apakah kalian termasuk orang yang overthinking? Kalau saya iya. Iya banget malah. Sering kali sesuatu yang belum terjadi saya pikirkan secara berlebihan yang ujungnya malah membuat diri sendiri menjadi cemas. Nggak jarang saya bahkan bisa sampai menangis memikirkan sesuatu yang bahkan nggak akan kejadian karena saya nggak bisa memprediksi masa depan. 
Kisah Nyata yang Membuktikan Cinta Sejati Itu Ada

Kisah Nyata yang Membuktikan Cinta Sejati Itu Ada


kisah nyata tentang cinta
source : Pixabay

Beberapa waktu lalu viral cerita #LayanganPutus yang mengundang banyak reaksi warganet. Dari komentar yang saya baca, ada yang menyayangkan kejadian tersebut, ada yang berempati terhadap si penulis, ada juga yang menghujat tokoh-tokoh dalam cerita penulis, dan bagi yang belum menikah malah jadi takut nikah.

Sejujurnya sebelum membaca cerita tersebut saya sudah banyak mendengar atau melihat cerita yang kurang lebih sama. Ya, cerita seperti itu bisa jadi ke siapa saja, termasuk orang-orang sekitar kita, atau bahkan mungkin kita sendiri.

Tapi saya percaya, semua orang nggak sama karakter dan jalan hidupnya. Saya percaya, cinta yang tulus itu ada. Pasangan yang bertahan bersama  meski diterpa banyak cobaan, itu juga nyata adanya.

Saya akan ceritakan salah satunya.

Namanya pak Hanif (bukan nama sebenarnya), saya kenal beliau karena beliau sering ke rumah orang tua saya. Karena ada urusan pekerjaan, lain kali karena ingin silahturahmi biasa.

Kalau beliau ke rumah, selalu bawa buah tangan hasil kebunnya sendiri. Ada pisang, kelapa, nangka, macam-macam deh. Beliau juga tutur katanya lembut dan sopan.

Beliau (status bujang) menikah dengan seorang janda. Semua baik-baik aja, sampai suatu hari istrinya sakit. Banyak usaha yang dia lakukan sebagai suami agar istrinya sembuh.

Kondisi istrinya makin parah karena bagian pinggang dan kaki sudah nggak bisa digerakkan lagi. Akhirnya segala aktifitas istrinya, pak Hanif yang gendong.

Tahun lalu, setelah kami sekeluarga sudah lama pindah dari desa itu, kami kesana lagi karena ada undangan pernikahan teman baik saya. Sekalian kami mampir ke rumah pak Hanif untuk numpang sholat.

Selama ini saya cuma tahu cerita beliau sedikit dari ortu saya. Hari itu saya menyaksikan sendiri kondisi istrinya, dan rumah mereka.

Istri pak Hanif sekarang sudah pakai kursi roda. Beberapa aktifitas kecil sudah bisa dilakukan sendiri.

Itu semua karena pak Hanif memang berjuang menguras tabungan, menyewa satu mobil untuk berangkat berobat ke Jakarta. Biar tahu betul apa penyakit istrinya, sekaligus berharap semoga istrinya bisa jalan lagi.

Ternyata setelah pengobatan di sana memang istrinya harus menggunakan kursi roda untuk selamanya. Pak Hanif cerita dia sedih banget dengarnya, tapi akhirnya beliau terima kenyataan dan terus berusaha ngurus istrinya. Sedikit demi sedikit uang dikumpulkan sampai akhirnya bisa beli kursi roda.

Meski sudah pakai kursi roda, tapi tetap aja aktifitas istri pak Hanif terbatas. Jadi urusan rumah, masak, semua pak Hanif yang lakukan.

Waktu saya kesana rasanya saya kayak lagi ngalamin reality show "Jika Aku Menjadi" yang pernah tayang di salah satu channel TV itu lho.

Karena rumah pak Hanif terbuat dari kayu, lantai ruang depannya memang sudah disemen. Tapi lantai dapur dan kamar mandinya masih dari tanah.

Di kamar mandinya sendiri ada wc jongkok, namun di atas wc jongkok itu adsakursi plastik yang dudukannya dibolongin. Ternyata karena istrinya nggak bisa buang hajat sambil jongkok, untuk ngakalinnya pak Hanif pakai kursi plastik itu.

Setiap hari jika istrinya mandi dan mau buang hajat, pasti pak Hanif bantu dan jaga sampai selesai karena takut terpleset di kamar mandi.

Pak Hanif bilang dia ikhlas menjalani kehidupannya seperti ini semata-mata karena Allah SWT. Tapi satu hal yang masih beliau khawatirkan, beliau takut kalau dia meninggal duluan siapa nanti yang ngurusin istrinya?

Sebenarnya pak Hanif sempat punya anak sama istrinya tapi anak tersebut meninggal dunia. Sedangkan anak dari suami pertama istri pak Hanif punya kehidupan sendiri dan sudah lama nggak ada kabar.


Saya yang ada di sana waktu itu rasanya mau nangis. Tapi nggak mungkin nangis di depan pak Hanif. Di satu sisi saya sedih lihat kondisi mereka, di satu sisi saya terharu dengan ketulusan pak Hanif merawat istrinya sepenuh hati.

Rasanya kalau ada yang pantas pegang tiket surga, bagi saya pak Hanif lah orangnya. Beliau juga ibadahnya rajin, meski hidupnya sangat sederhana beliau sudah haji karena memang bertekad banget ngumpulin duit untuk berangkat haji. Beliau juga sehari-harinya ngajar anak-anak ngaji tanpa dipungut biaya.

Waktu itu saya dan ortu sempat kasih uang seadanya. Tapi mereka berterimakasih berulang-ulang dengan raut wajah senang.

Saya memang sempat kepikiran, gimana kalau itu ortu saya. Hidup dalam keterbatasan ekonomi dan fisik. Anak entah kemana, tetangga juga hanya bisa membantu sekadarnya.

Hati saya juga terenyuh, diantara sekian banyak cerita pengkhianatan suami hanya karena fisik istri berubah, tapi ini ada pria yang tulus ngurusin istrinya yang sakit sepenuh hati.

Terima kasih pak Hanif, atas pelajaran berharganya.

(Maaf nggak ada foto apapun, karena saya merasa nggak sopan untuk memotret keadaan beliau atau isi rumahnya waktu itu. Tapi ini ada foto depan rumah pak Hanif, teman saya yang kirim waktu mau kasih bantuan. Gelap juga karena ambilnya pas malam).



***

Selain kisah pak Hanif, orang tua saya sendiri termasuk panutan saya dalam mempercayai kekuatan cinta.

Kemarin tanggal 9 November, merupakan hari ulang tahun mama saya yang ke-55 sekaligus ulang tahun pernikahan mama papa yang ke-33 tahun.

Selama 33 tahun bersama pasti bukan cuma riak-riak kecil yang mereka lewati, tapi juga ombak besar, karang, badai, topan, bahkan mungkin pernah "kapal" mereka retak atau ada bagian yang rusak.

Tapi syukurlah semua bisa dilalui sampai dengan sekarang. Saya tahu itu nggak mudah.



Bisa jadi karena mereka memulai rumah tangga dari nol, susah bareng-bareng. Saya selalu hapal cerita mereka dimana dulu makan aja susah. Gaji PNS zaman dulu tuh jauh dari cukup, jatah beras yang dikasih juga kualitasnya kurang bagus. Alhasil tiap bulan gali lobang tutup lobang ngutang ke warung.

Bahkan waktu lahir kakak saya, baju-baju bayi yang mampu dibeli cuma sedikit. Jadi papa saya yang tiap hari mencuci biar baju bisa terus dipakai. Nyucinya juga bukan di rumah, tapi harus ke sungai.

Karena nggak bisa beli baju menyusui, mama saya juga rombak sendiri daster-dasternya. Digunting dan dijahit lagi dengan kancing biar bisa mudah dipakai untuk menyusui.

Tinggal diperantauan dengan ekonomi sulit, nggak ada bantuan dari manapun. Tapi ternyata itu semua jadi fondasi yang kuat hingga sekarang.

Do'a saya semoga mama papa dipasangkan di dunia, disatukan pula kelak di SurgaNya. Aamiiin.

Saya sendiri nggak tahu sih apakah kisah cinta saya dan suami juga akan berakhir manis. Tapi sejauh ini selama kami masih bisa melakukan yang terbaik untuk satu sama lain ya kami akan melakukan itu. 


Saya tahu setiap orang bisa berubah. Setiap orang pasti akan merasakan jenuh. Tapi saya percaya setiap orang akan menyikapi hal tersebut dengan cara yang berbeda. Semoga saya dan pasangan  bisa menyikapinya dengan baik.

Nah, semoga dengan cerita di atas jangan ada lagi yang menyamakan semua orang hanya karena ada cerita viral yang menyakitkan. Apalagi bagi yang belum nikah, jangan takut. Justru kalian punya banyak kesempatan untuk memilih dan menemukan yang terbaik.

Bagi yang sudah menikah, ayo terus berjuang agar "kapal" kita nggak hancur sebelum sampai tujuan.

Semoga apapaun yang terjadi kita selalu diberi kekuatan untuk menghadapinya.

Kalau kalian pernah dengar kisah manis seperti di atas, ceritakan juga ya di kolom komentar.

Menjaga Hutan Lestari, Demi Anak Cucu di Masa Depan Nanti

Menjaga Hutan Lestari, Demi Anak Cucu di Masa Depan Nanti


"Uh, bau apa nih?" 

Anak saya Mukhlas (2,5 tahun) refleks menutup hidungnya saat kami keluar rumah menuju daycare tempat biasa dia dititipkan selama saya bekerja.

"Bau asap, Nak. Makanya tutup hidung dan mulut Mukhlas."

"Acap ya?" dengan nada cadelnya, Mukhlas menutup mulut dan hidung dengan kedua tangan mungilnya.

"Iya, kabut asap namanya."

Ada perasaan sedih disaat anak saya mengalami kotornya udara dan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Di Provinsi Jambi, masalah ini masih sering terjadi dari tahun ke tahun.
Secarik Puisi Untuk NKRI

Secarik Puisi Untuk NKRI


"Jangan Dengarkan Dia"
Oleh : Dudukpalingdepan

Dia bilang kita berbeda
Padahal kita satu bangsa
Dia bilang kita bisa saja saling pukul
Namun yang kuinginkan kita bisa saling rangkul
Dia bilang tak perlu saling menghargai
Aku ingin kita saling bertoleransi 
Dia bilang hidup tak perlu berdampingan
Tapi aku suka hidup di tengah perbedaan
Dia bilang jika berbeda, maka kita bukan saudara
Aku bilang, tak usah kau dengarkan dia
Evaluasi dan Target Blogging 2019

Evaluasi dan Target Blogging 2019


Nggak kerasa sebentar lagi kita akan mengalami pergantian tahun. Saya bilang nggak kerasa karena memang benar-benar waktu terasa berjalan begitu cepat. Terutama disaat saya sudah punya anak.

Rasanya baru kemarin iseng ngeblog tentang pengalaman melahirkan dengan operasi caesar (sekarang anaknya sudah hampir 2 tahun), lalu tulisan itu banyak dikunjungi sehingga membuat saya semangat terus menulis sampai sekarang bisa mendapatkan penghasilan bulanan dari ngeblog.

Pengalaman Menyembuhkan Jerawat Menahun

Pengalaman Menyembuhkan Jerawat Menahun



Nggak sengaja buka laptop dan menemukan foto saya beberapa tahun lalu yang penuh dengan jerawat. Melihat foto itu bikin saya meringis. Tapi syukurlah masa-masa itu sudah berlalu. Saya putuskan untuk membagikan bagaimana awalnya saya bisa sampai jerawatan sepenuh muka begitu dan Alhamdulillah sekarang sudah sembuh, walaupun masih ada bekasnya.
Lebih Hijau Belum Tentu Lebih Baik

Lebih Hijau Belum Tentu Lebih Baik


Kita pasti sudah sering mendengar ungkapan “rumput tetangga selalu lebih hijau daripada rumput di halaman sendiri”. Ungkapan tersebut berarti apa yang orang lain punya selalu kelihatan lebih hebat, lebih bagus, lebih kece, dan lebih segalanya dari apa yang kita punya. Padahal belum tentu lebih baik.
 
Berhubung postingan ini akan collab dengan salah satu Parenting Blogger Indonesia, yaitu mbak Yenni Sovia, maka kali ini saya ingin membahasnya dari sudut pandang sebagai seorang istri dan ibu.

Hidup Jangan Terlalu Baper

Hidup Jangan Terlalu Baper

pixabay

Tulisan ini bakalan jadi self reminder, tapi kalau ada yang merasa sama dengan apa yang saya rasakan semoga ini akan bermanfaat. 

Saya sadar kalau saya orangnya terlalu mudah terbawa perasaan. Di saat-saat tertentu itu baik karena saya bisa lebih peka dan empati. Tapi di sisi lain ini menjadi semacam toxic untuk saya sendiri.