Duduk Paling Depan: isi hati dan kepala
Memulai 2023 Tanpa Resolusi

Memulai 2023 Tanpa Resolusi




Haloooo, gimana awal 2023nya? Apakah malam tahun baru diisi dengan kumpul-kumpul di rumah sambil bakar kenangan masa lalu daging/jagung? Atau ke tempat wisata untuk menikmati pergantian tahun dengan melihat semarak kembang api? 


Melewatkan Malam Tahun Baru dengan Biasa


Kalau saya malam tahun baru diisi dengan di rumah aja. Rebahan, nonton, makan, main sama anak, terus jam 10 malam kami tidur. Santai banget kayak nggak ada bedanya sama hari-hari lainnya. 


Nggak ada yang istimewa karena tanggal 31 Desember 2022 saya dan suami juga masih kerja. Anak saya juga belum ngerti soal tahun baru ini.


Besoknya memang kami pergi makan dan main ke taman. Tapi ini juga biasa aja sih dilakukan kalau lagi libur.


Alias nothing special 😆.


Saya memilih untuk santai aja melewatkan 2022 dan memasuki 2023. Apa mungkin karena tahun ini saya akan memasuki umur kepala tiga? Jadi lebih slow dan nggak menggebu-gebu.

 

via GIPHY

 

Memulai 2023 Tanpa Resolusi


Padahal tahun lalu saya masih semangat banget sampai sengaja menjadwalkan staycation di hotel. Lalu bikin resolusi panjang di buku catatan saya. 


Alhamdulillah banyak yang kesampaian, ada juga yang nggak. 


Tapi tahun ini saya malas bikin resolusi. Soalnya sering kecewa sama ekspetasi diri sendiri. 


Semakin bertambah umur saya berusaha semakin mengenali diri sendiri. Saya tahu bahwa saya termasuk orang yang berambisi. 


Ibaratnya kalau saya mau sesuatu, saya harus dapat. Kalau nggak, saya akan kecewa banget sama diri sendiri, marah dan menyalahkan keadaan. 


Itu rasanya capek banget, menguras energi, mengaduk-aduk emosi. 


Padahal nggak ada kok yang menekan saya harus begini dan begitu. Tapi saya terlalu keras sama diri sendiri harus bisa mencapai ini dan itu. 


Kemudian saya berusaha instropeksi. Apakah segala resolusi dan pencapaian itu memang benar-benar saya inginkan? Atau hanya ingin dapat pengakuan?


Memang sifat alami manusia butuh validasi apalagi kalau itu datang dari orang yang kredibel di bidangnya, atau orang-orang yang memang mau kita buktikan bahwa kita bisa. 


Tapi kok kalau pun sudah tercapai rasanya nggak benar-benar puas dan happy ya? 


Karena omongan orang nggak ada habisnya. 


Contoh kita punya resolusi nurunin bb, hanya karena ada yang bilang kita gendutan. 


Kalau berhasil ada yang muji bilang cantik kalau kurusan, tapi ada yang bilang nggak bagus karena kesannya kayak nggak dikasih makan.


pas nulis ini, pas ketemu quote ini.


Lagipula saya kemudian menyadari bahwa pergantian tahun itu cuma momentum pengingat bahwa waktu terus berjalan maju.


Karena kalau mau punya resolusi kenapa harus nunggu tahun berganti? 


Kalau mau jadi lebih baik, lakukan ketika niat itu tercetus, nggak harus nunggu malam saat kembang api besar meletus. 


So yeah, tahun ini memang pengen lebih santai sama diri sendiri. Nggak perlu bikin resolusi biar nggak ada ekspetasi tinggi sama diri sendiri. 


Let it flow, and make it easy. 


Saya yakin pandangan tentang awal tahun akan berbeda bagi tiap orang karena faktor yang mempengaruhinya juga berbeda. 


Kalau ada yang berambisi dan menggebu-gebu dengan daftar resolusinya tahun ini, ya nggak apa-apa. it's your choice.


Asalkan yakin bahwa apapun pencapaianmu, itu untuk diri kamu sendiri. 


Kalau diberi umur panjang, mari kita lihat seseru apakah tahun 2023 😊


Tambah Anak

Tambah Anak

image source : freepik


Saya pikir dulu pertanyaan tentang kehidupan pribadi kita akan berhenti kalau kita menikah. Soalnya dulu pas jomlo kan ditanyain mulu "kapan nikah?". Ternyata setelah menikah dan punya anak juga pertanyaannya masih ada.


Cuma Basa-Basi


"Ayooo, kapan tambah anak?"

"Udah cocok tuh anaknya punya adek"

Yah namanya orang kita suka berbasa-basi perkara anak. Kalau anaknya cowok semua dibilangin tambah lagi untuk dapat anak cewek, begitu pula sebaliknya.

Sebenarnya nggak masalah sih, nggak semua orang bisa cari topik pembicaraan yang anti mainstream kayak "Eh, tahu nggak ya kapan hukum pertama Newton dapat berlaku pada gerak benda?".

Hanya saja memang ada beberapa oknum yang kadang omongannya nyelekit. Misalnya yang pernah saya dapat itu kayak gini "Nunda nambah anak nanti malah beneran nggak dikasih baru tahu rasa". Oh wow banget ya kan.

Terus apakah omongan itu datang dari keluarga? Sahabat? Tentu tidak. Tapi dari orang yang sekedar kenal aja.

Begitulah ya. Kadang saya ngerasa lucu sendiri. Soalnya ortu, mertua, saudara saya nggak ada yang riweh dengan kehidupan pribadi saya padahal kalau mereka mau ya tentu bisa aja apalagi memang termasuk circle terdekat. 

Tanggung Jawab Punya Anak


image source : freepik


Keputusan punya anak itu bukan kayak kita memutuskan untuk beli barang, yang mana kalau ternyata dikemudian hari kita menyesal beli barang tersebut, bisa kita jual lagi atau kita kasihin ke orang lain. 

Punya anak, sekali dia lahir ke dunia kita akan mengemban tanggung jawab terhadap anak tersebut baik secara lahir maupun batin seumur hidup kita. Tanggung jawabnya bukan cuma di dunia tapi nanti sampai hari akhir. 

Berat banget, kan? Makanya harus dipertimbangkan sematang mungkin. 

Dulu sebelum menikah saya juga kepengen punya anak banyak, seru kayaknya rame-rame di rumah. Tapi setelah punya satu, wkwkwkw nanti dulu. 

Apalagi kondisi setiap keluarga itu berbeda. Punya anak itu sebaiknya punya support system juga. Bukan hanya dari suami tapi juga dari anggota keluarga yang lain, atau asisten yang dipekerjakan.

Nah, saya ini posisinya ikut suami, dan saya juga bekerja di sini. Kami nggak ada anggota keluarga lain di sini. Dulu pernah pakai pengasuh anak, sampai sekarang anak dititipkan di daycare yang satu yayasan dengan PAUD/TK. 

Saya ngerasain banget strugglenya pas anak sakit, tapi kami harus tetap bekerja yang mana akhirnya harus mengalah, salah satu izin nggak masuk. 

Pernah juga misalnya ada acara di kantor yang mana pulangnya sore banget, anak saya harus menunggu di daycare sampai ketiduran. Tinggal dia sama guru pengasuhnya, anak-anak lain sudah pulang. Aduh, perasaan sedih langsung menjalar di dalam hati saya pas ngejemput dia. 

Kalau sekolah dan tempat penitipannya libur, saya dan suami tetap masuk kerja. Jadi kami harus cari pengasuh sementara di rumah. Kami baru bisa liburan dengan cara saya dan suami harus ambil cuti atau nunggu libur lebaran. 

"Me time" dan "quality time" bersama pasangan juga jarang, nunggu saya berkunjung ke tempat orang tua jadi ada yang jagain anak. Karena memang hari-hari saya adalah bekerja, terus pulang langsung jemput anak, dan sisanya kami di rumah sama-sama. 

Sebagai manusia biasa, apalagi kalau pas ngerasa overwhelmed karena kerjaan dan urusan rumah itu saya jadi gampang emosian. Imbasnya ke suami atau anak. Setelahnya saya pasti nyesal dan sedih.

Semua struggle itu saya dan suami yang merasakan, yang menjalani. Jadi keputusan untuk menambah anak adalah keputusan kami. Saya nggak mau hal itu diintervensi oleh siapapun dari anggota keluarga apalagi dari orang lain. 

Pertimbangan Keputusan Punya Anak


Bersyukur lagi suami saya orang yang open minded dan mau diajak diskusi soal apapun termasuk perkara jumlah anak. 

Kalau ngomongin kesiapan pengasuhan dia juga merasa belum siap. Karena memang suami saya turut andil dalam pengasuhan anak, jadi dia juga tahu bagaimana suka dukanya.

Tapi untuk urusan kesiapan fisik, dia menyerahkan sepenuhnya kepada saya. Karena sayalah yang merasakan hamil dengan segala mual, sakit, penambahan berat badan, dan sebagainya. Saya juga yang berjuang hidup mati saat melahirkan, saya pula yang akan merasakan perjuangan menyusui dua tahun lebih. 

Saya happy banget dengarnya, karena it means he cares about me and my body. Meski saya istrinya, tapi untuk hak atas tubuh ini masih dia berikan kepada saya. 

Saya sudah ngerasain hamil jauh dari keluarga, sakitnya diinduksi dan ternyata gagal jadi lahirannya caesar, pas menyusui sempat kena mastitis pula. Sakit-sakit itu rasanya belum saya lupa. 

image source: freepik/pikisuperstar



"Ah tapi banyak kok perempuan lain yang juga lahiran caesar, dijahit berkali-kali, menyusui tiap tahun,  tapi berani punya anak sampai tiga bahkan empat"

Ya, biarkan saja. Itu perempuan lain, bukan saya. Saya dan mereka kan nggak harus sama keputusan hidupnya tentang anak.

Kalau ada orang lain punya anak banyak dan itu keinginannya, ya Alhamdulillah. Saya nggak akan komen macam-macam toh saya juga nggak ikut andil ngurusin dan bayarin sekolahnya.

Harusnya begitu pula sebaliknya untuk orang yang kemudian belum siap punya anak atau nambah anak. 

Saya juga sering nanyain ke anak saya, dia mau punya adik atau nggak? Dari dua tahun lalu sampai sekarang jawabannya masih konsisten "nggak mau". Malah kalau digodain terus dia bisa nangis kejer.

Karena memang kondisi saya adalah ibu yang bekerja dan nggak bisa resign begitu aja, jadi saya juga mau mencurahkan kasih sayang sebanyak-banyaknya sama anak. Sekalipun saya bekerja, saya mau dia tetap bisa ngerasain kalau mamanya perhatian dan sayang banget sama dia tentu dengan cara saya sendiri. 

Bagi saya pendapat anak pertama juga penting. Apalagi dia laki-laki, saya mau melatih dia untuk belajar memilih keputusan dalam hidupnya dengan cara mendengarkan dan menerima pendapatnya sekalipun masih kecil. 

Sampai nanti kalau dia ada omongan "Ma, aku mau punya adik" nah itu juga akan saya tanya alasannya apa, lalu diajak diskusi apakah dia nanti mau berbagi? Berbagi waktu, perhatian orang tua, berbagi mainan, tempat tidur dan segalanya yang kami punya? 

Takdir Tentang Anak


Selain soal keinginan, ada yang namanya takdir. Itu yang nggak bisa kita lawan. Saya menulis tulisan ini hari ini, entah ternyata bulan depan saya hamil, kan nggak ada yang tahu. Karena memang saya juga sudah berhenti pakai kb implan karena nggak cocok.


Kalau sudah perkara takdir, tentu saya dan keluarga akan menerima dengan suka cita. Meski kami sudah punya rencana A,B,Z sekalipun tapi takdir Allah adalah yang terbaik. 

Sebaliknya bisa jadi suatu hari nanti saya sudah siap, suami siap, pak RT siap, anak saya mau punya adik, kami sudah berusaha, tapi ternyata belum Allah gariskan untuk diamanahi anak lagi. Ya sudah, harus diterima dan dijalani pula. 

Karena kita cuma manusia biasa yang menyerahkan skenario kehidupan di tangan sang Pencipta.

Yuk, Lebih Bijak


Inti dari tulisan ini adalah saya mengajak kita semua untuk belajar memilih kata yang mungkin lebih baik dan nggak menyakiti hati saat mengomentari perkara jumlah anak orang lain. Kita nggak tahu perjuangan apa yang mereka lalui saat memiliki dan mengasuh anak. Kondisi keluarga masing-masing juga berbeda. 

Apalagi sekarang marak kasus kriminal yang berawal dari gangguan kesehatan mental orang tua. Memang bisa jadi penyebabnya dari banyak hal, tapi salah satunya bisa jadi dari omongan orang sekitar yang menyakitkan. 

Semoga kita nggak jadi korban, apalagi jadi pelaku.

Mau berapapun jumlah anak kita, bagaimanapun kondisi kita menjalaninya, kitalah yang berhak menentukan jalan bahagia kita masing-masing.



Demotivasi Ngonten

Demotivasi Ngonten

demotivasi


Sebelum lebaran saya semangat banget ngonten, saya memang ada niat untuk berbagi ilmu blogging tapi melalui video pendek reels di Instagram. Setelah bikin beberapa video Alhamdulillah views organiknya lumayan banget. Komentar-komentarnya juga positif. 

Meski Hidup Tidak Mudah Tetaplah Bertahan

Meski Hidup Tidak Mudah Tetaplah Bertahan



Sekitar tahun 2009-2010, saya lupa kapan pastinya namun yang saya ingat persis waktu itu dari bilik warnet, saya yang berniat mencari music video dari girl group Kpop justru tertarik dengan sebuah video berita yang muncul di beranda. 

"Detik-Detik Ibu Menyiksa Bayinya yang Berumur 8 Bulan"

Sesekali Tanpa Ambisi

Sesekali Tanpa Ambisi



Saya nggak tahu kapan tepatnya saya menyadari kalau saya orang yang cukup ambisius tapi yang pasti memang sedari kecil saya dididik untuk bisa mencapai sesuatu yang orang tua saya targetkan. 

Dua Mata Pisau Media Sosial

Dua Mata Pisau Media Sosial


Dua mata pisau media sosial


Sejak kenal internet saya memang tertarik dengan media sosial atau apapun wadah dunia maya yang bisa menambah pertemanan. 

Waktu SMP sih saya nyobanya Yahoo Messenger, terus naik ke Friendster, pernah juga main MIRC, booming Facebook ya bikin juga. Begitu juga dengan BBM, Instagram, Path, dan Twitter.

Saya menemukan candu tersendiri dengan aneka ragam media sosial ini. Rasanya saya bisa mengekspresikan diri lebih banyak dan jangkauannya lebih luas dibanding di kehidupan nyata. 

Menjadi Mandiri

Menjadi Mandiri



Saya pikir saya adalah perempuan yang mandiri. Karena saya bisa mengemudi kendaraan roda dua dan roda empat, saya bisa mencari uang sendiri sejak umur 19 tahun, saya juga bisa mengurus rumah dan anak. 

Tapi ternyata mandiri nggak bisa hanya didefinisikan begitu saja. Ketika saya masih menggantungkan bahagia saya dengan orang lain, saya belum mandiri. 

Saya takut dengan kehilangan, padahal nggak ada sesuatu yang abadi yang bisa kita miliki di dunia ini. 

Misalnya tentang pasangan. 

Entah kenapa saya tipe orang yang menggantungkan seluruh kebahagiaan saya dengan pasangan. Saya berekspetasi penuh bahwa pasangan akan membahagiakan saya. Seutuhnya. Selamanya.

Kenyataannya pasangan saya hanya manusia biasa. Dia tentu bisa membuat saya sedih dan kecewa, begitu pula sebaliknya. Saya pun bisa menyakitinya. 

Hidup nggak bisa berjalan sesuai dengan apa yang saya mau sekali pun saya sudah menyusun rencana indah sedemikian rupa. Sekali pun rencana itu sudah saya wujudkan dengan usaha. 

Dulu saya selalu membayangkan skenario paling menyedihkan jika tiba-tiba ditinggal pergi pasangan saya untuk selamanya. 

Padahal harusnya nggak seperti itu.

Saya dan suami pernah berdiskusi apa yang sebaiknya dilakukan ketika salah satu dari kami takdirnya pergi duluan. 

Sedih, pasti. Tapi jangan berlarut. 

Pikirkan langkah selanjutnya. Urus segala utang piutang dan aset untuk melanjutkan hidup bersama anak. 

Tata hati dan susun rencana dimana akan tinggal selanjutnya mengingat tempat tinggal kami sekarang hanyalah perantauan. 

Tegakkan kepala untuk melanjutkan hidup. Jika mau, bukalah hati untuk orang lain yang kiranya bisa membahagiakan dan bisa bertanggung jawab. 

Ya, itulah hal-hal yang kami sepakati. 

Dengan membahas seperti itu, saya jadi membuang skenario menyedihkan sebelumnya. 

Bukan karena nggak cinta, tapi mandiri yang sesungguhnya seperti itu. Nggak kehilangan pijakan sekalipun orang yang selama ini menjadi tumpuan harus pergi duluan.

Begitu pula dengan kedua orang tua. Mereka kini masih ada. Tapi lagi-lagi kematian itu pasti adanya, kan?

Sedih itu pasti, tapi semoga nggak ada penyesalan karena belum cukup berbakti. 

Ya, saya ingin menjadi mandiri.

Bukan hanya perkara bisa mencari uang sendiri, tapi juga kuat terhadap apapun masalah yang menerpa ke depannya nanti. 

Entah itu kepergian, kehilangan, kemalangan, saya ingin bisa kuat menjalaninya.

Mandiri. 

Agar anak saya juga bisa melihat, wanita yang melahirkannya adalah wanita yang kuat. Yang bisa mengabdi dan berbakti pada orang-orang yang memang seharusnya ia hormati, namun ketika orang-orang itu harus pergi, ia masih bisa tegap berdiri di atas kakinya sendiri. 

Mandiri.

Sehingga ia tak mudah tergoda pada kebahagiaan semu yang dikemas sedemikian rupa. Kenapa ia mesti mengharapkan orang lain wajib membahagiakannya sementara ia bisa membahagiakan dirinya sendiri?

Mandiri. 

Agar ia tak banyak berharap menerima. Namun bisa banyak memberi.