Kenapa Memilih Jadi Ibu Pekerja?
Alasannya karena saya nggak punya pilihan.
Ya, saya yakin saya bukan satu-satunya yang menjadi ibu pekerja karena memang nggak ada pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga. Saya bahkan tahu risiko ini dari saya gadis, jauh sebelum saya ketemu jodoh dan punya anak.
Tapi tentu pengalaman tiap orang beda-beda, ya. Hal-hal yang melatarbelakanginya pun berbeda.
Ini cerita saya.
Saya lupa tepatnya kapan, katakanlah seingat saya sejak saya kecil, orangtua saya termasuk yang selalu mendampingi saya belajar, dan memastikan nilai anak-anaknya bagus.
Alasan yang dikatakan orangtua saya selalu sama, nilai sekolah yang bagus akan memudahkan dalam mencari kerja.
Saya pernah bertanya, kenapa saya harus bekerja? Saya kan, perempuan. Pada masa itu, mama saya juga ibu rumah tangga. Selang beberapa tahun kemudian, beliau menjadi guru honorer untuk TK, dan madrasah.
Mama saya bilang, ya jangan jadi seperti beliau. Saya dan kakak saya harus bekerja, meski perempuan. Karena katanya masa depan nggak ada yang tahu.
Saat itu saya juga belum paham sepenuhnya. Tapi yasudah, saya tetap nurut untuk belajar yang baik, dan mempertahankan nilai yang bagus.
Sampai setelah makin besar, saya paham arahnya kemana.
Jadi papa saya itu cukup lama bertugas sebagai Kepala KUA, yang tugasnya mengurus pernikahan, dan juga perceraian.
Dari pengalaman beliau, tentu banyak melihat pasangan yang bercerai dengan berbagai macam alasan. Salah satunya ekonomi. Biasanya, pihak perempuan yang banyak menanggung beban setelah bercerai.
Apalagi 20 tahun ke belakang, khususnya di daerah kami, istri yang bekerja itu masih jarang. Tetapi badai rumah tangga juga nggak bisa dielakkan.
Ketika bercerai dan menjadi janda, pihak perempuan kebingungan menata hidup selanjutnya. Rata-rata kembali kepada orangtuanya, dan menumpang hidup disana.
Hak asuh anak? Kebanyakan jatuh ditangan pihak laki-laki, dikarenakan hanya bapaknya yang bekerja, dan bisa menafkahi.
Memang orangtua saya nggak pernah berkata gamblang dengan menyebut contoh-contoh pasangan suami istri yang beliau dampingi dalam mengurus perceraian, tapi saya paham betul maksudnya kesana.
Itulah kenapa akhirnya saya menurut saja, untuk menjadi perempuan bekerja.
Sehingga ketika ada keinginan menikah, salah satu syarat calon suami adalah ikhlas kalau istrinya harus menjadi working mom kelak ketika sudah punya anak. Bagaimanapun repotnya, ya itulah risikonya.
Kalau ada laki-laki yang baru PDKT saja sudah nggak setuju dengan perempuan yang bekerja setelah menikah dan punya anak, maka bukan sayalah orang yang tepat untuknya.
Waktu berlalu, dan sekarang saya memang menjadi ibu pekerja dengan kontrak kerja hingga umur 58 tahun (InsyaAllah jika panjang umur).
Saya sudah punya satu orang anak, dan saya merasakan nggak mudah untuk merawat anak dengan status saya sebagai ibu yang bekerja dari Senin sampai Sabtu.
Gonta-ganti pengasuh sudah saya rasakan, menitipkan anak di beberapa daycare dan harus melihat dia menangis karena nggak mau ditinggal, jemput anak di daycare dalam keadaan tertidur dan hanya dia yang belum dijemput karena saya ada rapat tambahan sehingga pulang lebih sore.
Bahkan pada masa Covid, saya masih harus tega menitipkan anak di daycare karena saya dan suami juga tetap WFO.
Kemana anggota keluarga yang lain? Kami merantau, jauh dari kedua belah pihak keluarga. Jadi inilah yang harus dihadapi.
Banyak banget suka duka dan dramanya. Nggak mudah jadi ibu pekerja, tapi inilah jalan hidup yang harus saya jalani.
Belum lagi kalau ada berita tentang anak yang disiksa pengasuh di rumah atau di daycare, itu komentarnya pasti ada yang julid dan bilang sebegitunya seorang ibu mengejar materi duniawi sehingga anaknya dititipkan ke orang lain dan berakhir disiksa.
Baper sih awal-awal, tapi makin kesini udah biasa aja.
Karena kondisi "sepatu" kita beda-beda. Tinggal bagaimana kita bertanggung jawab dengan hidup kita masing-masing.
Sebagai anak, saya nggak bisa mengecewakan orangtua saya atas didikan dan nilai-nilai yang mereka tanamkan sejak kecil. Bagi mereka, sebagai perempuan saya tetap harus punya kemampuan mencari uang sendiri, sekalipun suami bertanggungjawab.
Sebagai orangtua khususnya ibu, saya juga nggak mau mengecewakan anak saya karena ditakdirkan menjadi ibu yang bekerja.
Sebisa mungkin saya mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga, dan juga menanamkan nilai bahwa meski bekerja kasih sayang saya tetap full untuknya, bahkan uang hasil kerja saya pun digunakan untuk kepentingan dia sampai kelak nanti dewasa.
Untuk urusan penting seperti administrasi sekolah, pertemuan orangtua, atau melihat anak saat ada perform di sekolah, saya selalu hadir.
Kalau anak sakit, saya akan rela ambil cuti untuk nggak masuk kantor. Saya yang dulu nggak bisa masak, terus belajar biar anak selalu bawa bekal masakan mamanya (walaupun standar ya hasil masakannya). Dari banyaknya pekerjaan rumah yang didelegasikan, saya tetap nyetrika baju-baju anak saya sendiri.
Begitu juga dengan bahasa kasih peluk, dan cium, nggak pernah terlewatkan setiap harinya.
Semoga dengan usaha-usaha tersebut, tetap tertanam dibenak dan hati anak, bahwa mamanya sayang banget sama dia, meski mamanya seorang pekerja yang waktunya juga dibagi untuk pekerjaan.
Jadi begitulah alasan saya kenapa menjadi ibu pekerja, ini bukan pilihan, saya anggap ini garis kehidupan yang harus saya jalani.
Kondisi saya tentu berbeda dengan keluarga lainnya, kalau ada yang punya pilihan untuk berhenti demi anak, ya silahkan saja kalau itu terbaik bagi ia dan keluarga.
Saya juga berusaha nggak egois untuk menambah anak dengan kondisi kami yang jauh dari support system keluarga, dan saya yang bekerja dari Senin-Sabtu.
Kalau mengingat bagaimana masa-masa dulu anak saya harus dititip ke daycare, dijemput sudah sore banget dan yang lain sudah pulang duluan, saat Covid juga harus dititip, ingat raut wajahnya yang sedih kalau ditinggal, saya rasanya nggak ingin mengulang moment itu pada anak kedua.
Saya juga ada ketakutan, anak diperlakukan tidak baik oleh pengasuhnya. Syukurlah itu nggak kejadian pada anak saya, tapi kekhawatiran tetap ada.
Makanya saya ikutan sedih kalau ibu pekerja yang tertimpa musibah anaknya disiksa oleh pengasuh, malah dihujat. Padahal tanpa disalahkan, dia pasti sulit memaafkan dirinya sendiri.
Lagipula yang jelas-jelas salah tentu orang dewasa yang dengan sadar menyiksa anak kecil, bukan orangtua yang mengamanahkan anaknya untuk dijaga, dan tentu sudah membayar dengan nominal yang ditentukan pengasuh.
Alih-alih menghujat ibu pekerja, lebih baik dido'akan mendapat keadilan yang seadil-adilnya karena anaknyalah yang menjadi korban.
Semoga kita bisa menjadi perempuan yang bisa saling support meski pilihan setiap ibu itu berbeda. Ada yang mau full jadi ibu rumah tangga, ada yang full time kerja di kantor, ada yang kerjanya dari rumah sambil jaga anak, ada juga yang kerjanya musiman saja, atau bekerjanya nanti setelah anak-anak mandiri.
Semua pilihan itu baik dan ada risikonya masing-masing. Tinggal bagaimana menyepakatinya dengan pasangan dan keluarga.
Ah, lega banget rasanya nulis sepanjang ini. Walau mungkin nggak ada yang peduli juga sama jalan cerita hidup saya, wkwkwk.
Tapi siapa tahu kelak anak saya sudah bujangan, dia main ke blog ini dan baca-baca tulisan mamanya, lalu tersenyum bersyukur ditakdirkan menjadi anak mama.
😉💜
Get notifications from this blog
setuju, semua kembali pada pilihan masing-masing individu, dan tujuan yang dicapai juga mungkin berbeda dan cara yang ditempuh juga beda.
ReplyDeleteada yang untuk kemandirian dalam hal finansial, ada juga yang memang terbiasa bekerja, bahkan kalo diirumah aja kayak bingung mau ngapain.
waktu tau ada berita anak yang disiksa di day care,bikin sedih, kadang kalau kita lihat berita ga tau apa cerita dibalik penitipan anak di day care, yang pasti semua orang tua pengen anaknya nggak kenapa-napa