√ Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, Bergandengan Mewujudkan Kelestarian Alam - Duduk Paling Depan

Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, Bergandengan Mewujudkan Kelestarian Alam



Tentang Masyarakat Adat dan Masyarakat Modern


Dulu saya pikir masyarakat adat itu adalah sekelompok orang yang mempertahankan adat istiadat dari leluhur dan nenek moyangnya dan nggak mau mengikuti perkembangan zaman demi menjaga kemurnian adat mereka. 


Pikiran sempit saya menilai mereka adalah masyarakat yang nggak mau maju, nggak sadar bahwa dunia berputar dan kita harus mengikuti perkembangannya agar nggak dianggap “tertinggal”.


Tapi setelah saya belajar, barulah saya paham justru keberadaan masyarakat adat seperti pohon tua yang rimbun dengan dedaunan hijau yang memberikan rasa teduh, akarnya menjalar panjang dan kuat memberikan asupan bagi tanah yang ditempatinya.


Ya, karena sadar atau nggak keberadaan kita yang menganggap diri sebagai manusia berkembang dan modern justru memberikan kontribusi besar terhadap dampak buruk lingkungan. 


Kita butuh tempat tinggal, kita butuh lembaga pendidikan, kita butuh pasar, kita butuh tempat hiburan, dan masih banyak lagi.


Kemudian yang menjadi masalah ketika kebutuhan itu menjadi keinginan yang tak terbatas. Rumah tak cukup satu, maka demand tersebut menciptakan supply bagi para pengusaha untuk menyediakan lahan perumahan sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya. 


Mungkin teman-teman sendiri merasakan ya, waktu kecil di tempat tinggal kita masih banyak kebun, hutan, cuitan burung-burung terdengar jelas, bahkan kunang-kunang sering datang bertandang.


Setelah dewasa kita melihat pemukiman bertambah ramai, pepohonan berkurang, cuitan burung hilang, kunang-kunang pun sudah jarang. 


Manusia modern dengan segala kebutuhan dan keinginannya yang nggak pernah habis, itulah kita. Kita merasa wajar karena bumi diciptakan Allah untuk kita manfaatkan. Sampai sering lupa bahwa Bumi ini lebih dulu diciptakan daripada kita manusia. Ia semakin tua, semakin butuh perhatian, bukan terus diperas habis-habisan.


Disinilah peran masyarakat adat dalam menjaga bumi. Mereka yang seringkali dianggap tertinggal atau terbelakang, justru masih setia mencintai bumi. Mereka mengambil secukupnya dan kerap mengembalikan lebih karena tahu bahwa mereka hidup dari alam, maka menjaga alam adalah cara mereka berterimakasih atas penghidupan yang mereka dapat. 


Mengenal Suku Anak Dalam Jambi


Sebagai orang Jambi, saya sendiri nggak asing dengan sebutan masyarakat adat karena di Jambi ada kelompok masyarakat adat yaitu “Suku Anak Dalam (SAD)” atau biasa pula disebut dengan Orang Rimba.


Mereka menempati hutan-hutan di beberapa kabupaten di Provinsi Jambi. Menurut data dan informasi dari Departemen Sosial Republik Indonesia pada tahun 1990, disebutkan bahwa sejarah Suku Anak Dalam dimulai tahun 1624 (sumber rimba kita.com)


Ratusan tahun mereka ada namun eksistensi mereka mulai berkurang karena tergerus perkembangan zaman. Melalui pemberitaan media kerap kali terjadi konflik antara SAD, dengan kelompok masyarakat desa, dengan perusahaan, bahkan dengan pemerintah setempat. 


Suku Anak Dalam biasanya menempati suatu wilayah di dalam hutan karena mengikuti keberadaan ketua suku mereka, atau tetua-tetua yang mereka hormati. Untuk berteduh dan tidur, mereka biasanya hanya membuat semacam balai dari kayu-kayu dan dedauanan di hutan. 


Mereka akan pergi atau berpindah ketika ada anggota keluarganya terutama kepala keluarga atau kepala suku yang meninggal. Mereka akan pergi “Melangun”, yaitu budaya berpindah tempat yang jauh untuk melupakan kesedihan atas kepergian orang yang mereka cintai. 


Budaya Melangun tersebut bisa dilakukan selama bertahun-tahun atau berbulan-bulan. Mereka menuju hutan lain yang cukup jauh, bisa berbeda kabupaten atau provinsi. 


Namun ketika rasa duka tersebut sudah hilang dan mereka kembali, ditemukan pula kasus bahwa tempat tinggal lama mereka telah berubah menjadi perkebunan milik perusahaan atau pemukiman warga. 


Hal tersebut kerap kali memicu konflik. Orang Rimba tahu betul bahwa mereka duluan menetap di sana bahkan ada makam dari sanak saudaranya. Tapi perusahaan atau masyarakat memiliki dokumen kepemilikan yang sah. 


Konflik tersebut bergeser menjadi tindakan pelanggaran hukum bagi orang Rimba dikala mereka tersulut emosi dan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan hak mereka. Maka masyarakat adat ada pula yang harus mengendap di balik jeruji karena konflik tersebut. 




Dilema Masyarakat Adat vs Aturan yang Berlaku


Beberapa bulan lalu saya pernah dapat pelatihan tentang HAM, salah satu materinya adalah tentang hukum pertanahan. Narasumbernya bilang bahwa konflik sengketa lahan memang masih banyak terjadi.


Hal tersebut dikarenakan ketidaktahuan masyarakat tentang pentingnya administrasi dokumen kepemilikan dan penggunaan lahan yang sah. 


Masyarakat biasa saja ada yang terlibat dengan konflik lahan karena tidak memiliki dokumen yang sah atas lahan yang mereka miliki karena mendapatkan tanah tersebut dari warisan turun temurun keluarga. 


Ketika ada pihak lain yang mengklaim tanah tersebut dengan bukti kepemilikan yang sah, maka pernyataan mereka bahwa sudah mengelola lahan tersebut selama puluhan tahun akan lemah dimata hukum. 


Apalagi dengan masyarakat adat yang tidak tahu menahu tentang hukum kepemilikan lahan. Mereka akan kalah telak jika sudah berhadapan dengan pihak yang mengaku memiliki dan menguasai lahan mereka dengan bukti kepemilikan dokumen yang sah, yang dikeluarkan lembaga berwenang di Indonesia. 


Padahal masyarakat adat sudah bertahun-tahun turut andil menjaga lingkungan, melestarikan alam.  Kepemilikan yang mereka inginkan pun sederhana yaitu tidak diusik dan diintervensi oleh pihak manapun.


Pentingnya Segera Mengesahkan RUU Masyarakat Adat


Konflik Suku Anak Dalam di Jambi hanyalah segelintir dari konflik yang dialami oleh masyarakat adat yang ada di seluruh Indonesia. 


Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) AMAN tahun 2020, sebaran masyarakat adat sebagai komponen pembentuk dan kemajemukan Indonesia terdiri dari 70 juta jiwa masyarakat adat, 2.371 Komunitas Adat, dan 10,86 juta luas wilayah adat yang dipetakan tersebar di 31 provinsi (sumber : nasional.tempo.co)


Warisan nenek moyang kita yang beragam, masih berusaha dipertahankan oleh kelompok masyarakat adat di daerahnya masing-masiung. 


Maka dari itu perlunya peran masyarakat dan komunitas lokal memberikan perhatian untuk mendesak agar segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat adat. 


Dari draft RUU Masyarakat Adat yang dapat dibaca di situs dpr.go.id, isi RUU tersebut memberikan pengakuan dan perlindungan bagi keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. 


Seperti yang terdapat pada rancangan BAB III tentang perlindungan, pasal 18 dan pasal 19 yang berbunyi bahwa Masyarakat Adat yang telah ditetapkan berhak atas perlindungan. Salah satunya meliputi pengembalian Wilayah Adat untuk dikelola, dimanfaatkan, dan dilestarikan sesuai dengan adat istiadatnya.


Mari bersama kita terus pantau dan kawal agar Masyarakat Adat bisa mendapatkan perlindungan dan hak-hak mereka dengan payung hukum Undang-Undang yang berlaku. 


Membela Hak Masyarakat Adat Bersama AMAN


Topik Masyarakat Adat yang saya tulis kali ini merupakan kontribusi saya sebagai bagian dari #EcoBloggerSquad yang diprakarsai Dana Nusantara yang digagas oleh tiga organisasi besar, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). 


Maka dari itu diadakan kegiatan online gathering oleh Eco Blogger Squad untuk para blogger dengan narasumber Rukka Sombolinggi, Sekretariat Jenderal AMAN periode 2022-2027.


Pada kesempatan tersebut kak Rukka menjelaskan siapa itu masyarakat adat, eksistensi mereka, potensi yang mereka miliki, dan konflik yang kerap terjadi pada Masyarakat Adat.






Untuk itu AMAN yang merupakan organisasi kemasyarakatan independen dengan visi untuk mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera bagi semua Masyarakat Adat di Indonesia. 


AMAN berkomitmen untuk membela hak Masyarakat Adat dan melindungi dari berbagai permasalahan yang mengancam eksistensi Masyarakat Adat pada berbagai aspek seperti pelanggaran Hak Azasi Manusia, perampasan tanah, wilayah dan sumber daya, pelecehan adat dan budaya (sumber: aman.or.id).


Senang banget saya bisa ikut kegiatan ini karena menambah wawasan saya tentang eksistensi dan permasalahan masyarakat adat yang perlu terus kita suarakan sampai mereka mendapatkan perlindungan dan keadilan sebagai bagian dari hak Warga Negara Indonesia. 


Satu hal lagi yang membekas dari online gathering pada tanggal 6 April 2023 lalu, kak Rukka sebagai narasumber mengatakan bahwa sebagai blogger, kita mempunyai potensi yang powerful dalam menyuarakan hak-hak masyarakat adat melalui tulisan di blog


Pernyataan tersebut menegaskan bahwa meski kita bukan pembuat dan penentu kebijakan, tapi kita juga bisa lho berkontribusi dalam mendukung perlindungan Masyarakat Adat sesuai dengan kapasitas yang kita miliki. 


Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, Bergandengan Mewujudkan Kelestarian Alam 


Dari rangkaian paragraf di atas semoga dapat menambahkan wawasan teman-teman tentang pentingnya eksistensi dan perlindungan bagi Masyarakat Adat. 


Karena keteguhan mereka menjaga adat istiadat menjadi penyejuk bagi bumi yang semakin panas karena kekayaannya terus dikuras.  


Komunitas lokal juga berperan untuk membantu mereka mendapatkan perlindungan, sesuai dengan kapabilitas yang dimiliki. 


Bergandeng tangan bersama dengan niat yang mulia, karena ingatlah pada akhir hayat pun, badan kita masih akan menumpang di bumi ini. 

Get notifications from this blog

7 comments

  1. Ternyata masyarakat adat juga memiliki peranan penting dalam menjaga alam, kalau diingat memang kehidupan mereka merawat alam luar biasa. Dari gaya hidup jelas tidak merusak alam seperti yang orang kota lakukan. Terima kasih informasinya!

    ReplyDelete
  2. Mereka yg kita anggab orang non modern, tapi ternyata malah yg paling mencintai alam ya mba 😔. Melihat alam skr ini secara global sudah semakin memanas, aku bingung kenapa masih banyak orang serakah yg ga mau tau dan trus merusak alam. Apa mereka pikir, kerusakan alam nantinya ga akan mereka rasakan?!..

    Aku pun berharap, dengan keberadaan masyarakat adat, bisa membantu utk melestarikan alam kita lagi.

    Jangan serakah memang intinya. Mengambil sebanyak2nya dari alam, tapi ga mau ikut bantu menanam kembali pohon 😔. Giliran alam marah dan menyebabkan longsor, banjir, panas yang semakin menjadi, kita juga yg menderita

    ReplyDelete
  3. Masyarakat adat harusnya didukung dengan kepercayaan, adat, maupun ritualnya. Mereka sering kalah dalam hal kepemilikan lahan, karena tidak punya bukti hukum. Ini karena keserakahan manusia u/ alasan kapital & industri, padahal justru masyarakat adat mempertahankan kelestarian alam dengan perilakunya.

    ReplyDelete
  4. Penting banget memang masyarakat adat ini untuk keberlangsungan bumi ini, mereka yang masih setia tetap bersama alam dan tidak mengeksploitasi alam gila-gilaan, gak kayak manusia modern macam kita ini. Semoga masyarakat adat ini tetap terus ada dan kita semua bisa membantu agar mereka tidak punah

    ReplyDelete
  5. setuju banget kalau RUU Masyarakat Adat segera disyahkan, miris banget sering menemukan berita konflik antara masyarakat adat dengan pihak swasta terkait sengketa lahan. semoga bisa segera terwujud ya

    ReplyDelete
  6. Keberadaan masyarakat adat tentang hak kepemilikan lahan perlu diperhatikan oleh pemerintah agar tidak terjadi konflik. Bagaimanapun mereka adalah bagian dari bangsa ini.

    ReplyDelete
  7. Baru² ini kenal seseorang filantropis, yg berusaha membangun rumah u SAD. Ternyata engga berhasil, krn mereka memang nomaden. Punya aturan sendiri bermasyarakat. Harusnya kita lebih mengerti perilaku mereka yah...

    ReplyDelete