√ Dendam yang Positif - Duduk Paling Depan

Dendam yang Positif

Memangnya ada dendam yang positif? Nah, coba dibaca kisah saya ini ya. 



Saya berasal dari keluarga yang sederhana namun cukup. Dalam artian, orang tua saya nggak pernah ajak saya liburan ke luar kota, tapi biaya sekolah selalu ada. Makan di luar juga jarang, tapi saya nggak pernah merasa kelaparan di rumah. Nasi, lauk pauk, sayur, buah, susu, selalu ada. Intinya saya tumbuh dengan segala kebutuhan pokok tercukupi, meskipun tidak mewah. 

Ternyata dari cerita orang tua saya, kehidupan kami mulai membaik itu ketika saya lahir. Sedangkan saya adalah anak kedua sekaligus anak bungsu. Orang tua saya memulai pernikahan dari nol. Papa anak piatu, ayahnya hanya petani kelapa. Pekerjaan beliau adalah PNS biasa. Dulu, PNS bukanlah pekerjaan yang banyak diburu orang kayak sekarang. Karena gajinya yang sangat kecil, tanpa tunjangan.

Gaji PNS dulu buat makan aja nggak cukup. Jadi untuk biaya hidup bulanan terpaksa gali lobang tutup lobang. Katanya mama saya juga bikin kue-kue untuk tambah-tambah uang belanja sekalipun dalam kondisi hamil besar. Terus sedihnya, waktu melahirkan kakak saya, mama nggak bisa beli baju baru khusus menyusui. Jadi terpaksa baju lama dirombak sendiri supaya ada kancing depannya. 

Rumah? mana ada, bisa ngontrak rumah papan sudah syukur. Kendaraan? apa lagi itu. 

Karena kondisi yang kayak gitu, mereka sering banget diremehkan dan dipandang rendah orang lain. 

Tentu saya nggak bisa ceritakan detailnya seperti apa, siapa-siapa yang dulu merendahkan mereka, tapi dengarnya aja saya sedih, dan nggak bisa bohong kalau ada rasa sakit di hati. 


Nah, barulah setelah kelahiran saya kata mereka gaji PNS mulai ada peningkatan, jabatanpun mulai naik. Setelah 7 tahun pernikahan, baru akhirnya bisa merasakan belanja bulanan nggak perlu berutang. 

Alasan itulah yang mungkin membuat orang tua saya selalu mengingatkann anak-anaknya untuk bekerja ketika kami lulus sekolah/kuliah. Nggak pernah tuh, kami disuruh-suruh segera menikah. Selalu diingatkan untuk belajar yang benar di sekolah, biar nilainya bisa dipakai melamar kerja. Kerja apa? Jadi PNS. 

Orang tua saya memang nggak pernah menawarkan profesi lain selain PNS. Pokoknya terserah mau bidang apa, asalkan PNS. 

Lagi-lagi ini belajar dari pengalaman mereka yang melihat orang-orang terdekat kalau bekerja di bidang lain. Misalnya karyawan swasta, ada kemungkinan diPHK. Kalau berjualan, saat untung besar bisa berjaya tapi kalau rugi bisa jatuh sejatuh-jatuhnya. 

Sedangkan PNS, resiko-resiko di atas kemungkinannya sangat kecil. 

Saya sendiri sempat heran dengan keinginan mereka. Apalagi saya dan kakak saya ini perempuan. Dimana dalam Agama ataupun norma, laki-lakilah yang kelak wajib bekerja mencari nafkah. 

Tapi mengingat kisah pahit mereka, saya bisa mengerti kenapa mereka terus berulang-ulang menghimbau anak-anaknya jadi PNS. Jangan mengira orang tua saya diktaktor yang mengatur segala kehidupan anak-anaknya. Soal calon suami, teman, hobi, mereka bebaskan. Kecuali untuk pekerjaan : WAJIB PNS.

Alhamdulillah, saya dan kakak saya berhasil mewujudkan keinginan orang tua kami. 

Mereka bahagia banget. Kelihatan dimana-dimana ketemu keluarga atau kerabat, selalu membanggakan anaknya yang lulus PNS secara murni. 

Lalu saya sendiri bahagia, nggak?

Saya jadi PNS itu umur 19 tahun. Kuliah aja belum selesai. Langsung bertugas di lapas, di bagian penjaga tahanan. Dulu saya tahunya kuliah, ngerjain tugas, nongkrong sama teman-teman. Begitu jadi PNS, dunia saya banyak berubah. 

Harus bertanggung jawab dengan pekerjaan, harus disiplin, harus cepat beradaptasi dan banyak belajar, harus patuh segala macam aturan baik dari pusat maupun aturan internal. 

Sempat ada perasaan "kayaknya ini bukan dunia saya". Tapi mau mundur nggak bisa. Teringat pahit dan getirnya kehidupan orang tua saya. Lagi pula, mereka nyuruh saya jadi PNS demi kebaikan saya sendiri. Buktinya, sekalipun mereka nggak pernah minta uang hasil kerja saya, atau minta dibelikan ini itu, nggak ada sama sekali. 

Stres makin memuncak pas lihat teman-teman angkatan yang masih bebas bisa berorganisasi, nongkrong, traveling, dapat beasiswa, lanjut S2 ke luar kota atau ke luar negri. Sedangkan rutinitas saya jagain narapidana/tahanan di balik tembok tinggi dan jerusi besi. 

Namun akhirnya saya mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Allah pasti punya rencanaNya sendiri. Saya sendiri nggak menyangka bisa lulus PNS dengan lancar. Seolah-olah begitu dimudahkan. Padahal nggak punya kenalan siapapun di Kementrian ini. 

Saya sadar bidang ini kurang cocok dengan saya. Waktu itu saya coba curhat ke rekan kerja, dan  dianyaranin utuk menyalurkan passion  saya di lapas. Kemudian saya memberanikan diri untuk menawarkan menjadi tenaga pengajar secara gratis di lapas. Sekalipun itu bukan tugas utama saya, dan harus dilakukan di luar jam kerja. 


Alhamdulillah disambut baik. 

Terus pernah saya ditawarkan menjadi MC, langsung saya terima (salah satu passion saya adalah public speaking). Saya tampil sebaik mungkin, sampai setelah itu saya selalu menjadi MC diacara apapun di lapas. 
Pilih foto yang lama, yang agak kurusan wkwk

Saya sadar kalau saya salah masuk "kelas", bukan berarti saya nggak bisa berkreasi di kelas itu. Saya nggak bisa hanya duduk diam, lalu menyalahkan orang lain, atau menyalahkan takdir. Lebih baik saya cari jalan biar saya nggak mentok-mentok banget disini. 

Lalu? dendamnya di bagian mana?

Sekalipun sekarang saya sudah bisa mengimbangi antara kewajiban pekerjaan saya dengan passion yang saya miliki. Saya tetap merasa bahwa saya dulu nggak diberikan banyak pilihan dan kesempatan. Padahal saya yakin, membahagiakan orang tua itu tidak hanya bisa dengan satu cara

Saya jadi bertekad, kalau punya anak saya mau menjadi orang tua yang akan memberikan banyak kesempatan. Saya ingin mengenalkan dan mengarahkan, namun dia sendirilah yang memutuskan. 

Anak saya boleh menjadi apa saja yang dia mau, selagi tidak dilarang Agama dan tidak melanggar hukum. 

Jadi penulis? silahkan. Mau jualan? boleh. Jadi wartawan? desain grafis? arsitek? akuntan? insyinyur? pelukis? youtuber? influencer? pemain bola? Uztad? guru? dosen? pilot? TNI? Polisi? Bebasssss!! Saya akan mendukungnya. Selagi itu memang sesuai dengan minat dan bakatnya. 

Bahkan sekalipun kelak dia menjadi seorang PNS atau petugas lapas seperti mama dan babanya, saya juga akan mendukung penuh. Dengan catatan, dia melakukan atas kemauannya sendiri. 

Saya ingin Mukhlas tahu bahwa hidup yang sejahtera jika dinilai dari materi tidak hanya bergantung pada satu pekerjaan saja. Dan, yang paling penting dia harus bahagia menjalani pekerjaannya yang akan menjadi rutinitas hariannya kelak sebagai orang dewasa. 

Tugas saya dan suami adalah mengenalkannya dengan banyak hal, memfasilitasi pendidikannya, mengarahkan bakat dan minatnya, menjadi  supporter utamanya, dan selalu menyediakan pelukan disaat dia kelelahan berjuang atau menghadapi kegagalan. 



Itulah dendam yang saya maksud. 

Saya yang dulu tidak diberikan banyak kesempatan akan membalaskannya kepada anak saya dengan cara sebaliknya. Namun saya juga berterimakasih sama Mama dan Papa yang sangat memikirkan masa depan anak-anaknya.

Semoga cerita ini bisa memberikan hikmah dan kebaikan bagi yang membacanya. Kalau kalian punya pengalaman yang mirip bisa sharing di kolom komentar, ya. 

Get notifications from this blog

10 comments

  1. Saya sadar kalau saya salah masuk "kelas", bukan berarti saya nggak bisa berkreasi di kelas itu.

    ini poin penting mbak
    namanya hati ya gak bisa dibohongi....

    yang penting tetap berkreasi dan bermanfaat bagi banyak orang ya..

    ReplyDelete
  2. Iya betul, dulu gajia pns sangat minim. saya sendiri pernah menjadi tenaga honorer, aduh gajinya itu untuk makan sebulan saja tidak cukup. Walau sebenarnya ada kesempatan untuk menjadi PNS, tapi kesempatan itu saya buang dan menjadi buruh pabrik. Setelah pak harto tumbang, hal sebaliknya kini pns tampak lebih sejahtera.
    Tapi ya seperti itulah lika-liku kehidupan yang penting mampu dan terus bersyukur.
    Saya juga punya bakat jadi MC lo, setiap ada acara saya ditunjuk menjadi MC.

    ReplyDelete
  3. Kak, saya kok terharu ya sama tulisan kakak. Ini mengingatkan kepada diri saya sendiri. Saya juga datang dari keluarga PNS & selalu diharuskan bekerja menjadi PNS yaitu guru. Tapi, saya selalu menolak dan menolak.
    Akhirnya saya kerja di sebuah perusahaan kecil dengan senang hati namun namanya cukup bergengsi bagi saya.
    Saya di sana juga ternyata bisa mengajar. Mengajar anak-anak magang. Lalu, di rumah juga mengajar anak-anak tetangga.
    Walau begitu, disuruh orang tua untuk daftar CPNS juga masih menghantui.

    Entah, mungkin ini jalannya ya Kak.
    Saya juga berkeinginan untuk membebaskan anak-anak saya kelak.

    Sukses untuk Kakak ya!
    Salam kenal.
    Ditunggu blog walkingnya ke blog-ku juga ya Kak.

    ReplyDelete
  4. Sebelumnya saya mau tanyo dulu Mbak, apakah komentar kami kali ini masih berhadiah ? seperti artikel sebelumnyo. :)

    Kalau iya. saya mau kasih pantun, tapi kalau tidak... saya koment kelas Ekonomi saja, hahahah....

    ohy.... cerita Mbak sangat menghanyutkan, saking hanyutnya saya jadi terdampar pada ingatan saya semasa kecil. hidup susah2 juga. Cuma bedanya Mbak PNS dan Saya NON PNS, hahahah.... nasib..nasib....

    Saya jadi penasaran .... sebab di dalam gambar paling atas ada PENAMPAKAN SOSOK WANITA DI BIBIR PANTAI , Kira - kira siapakah wanita itu ?

    " BIDADARI yang sedang MENYAMAR-Kah ?

    atau WANITA yang SEDANG Ingin Berubah Jadi DUyung ? :)

    Atau Wanita yang sedang PATAH hati..hahahah*peace* :)

    ReplyDelete
  5. Dendamnya bagus banget nih, bener2 positif.

    Tapi kalau saya, gak mau sama sekali bilang dendam, karena menurut saya dendam ya dendam aja, gak ada yang positif hahaha (cuman beda pengertian aja kali ya)

    Masa kecil saya terlalu pedih untuk diceritakan huhuhu.
    Makanya saya memilih untuk melupakan, bukannya disengaja, alam bawah sadar saya yang melakukan hal tersebut.
    Terbukti dari banyaknya hal-hal yang sama sekali gak saya ingat lagi, sementara orang lain masih mengingatnya dengan jelas.

    Tapi hal positif terjadi karena itu, saya jadi semacam memulai dari nol.
    Berusaha mengasuh anak bukan karena masa lalu saya, tapi karena mereka adalah pribadi individu yang berhak atas hidupnya.

    Bukan berarti saya benar2 terlepas dari masa lalu, saya masih berteriak sama mereka, dan kadang secara gak sengaja membandingkan.
    Namun saat tersadar, saya segera istigfar dan meminta maaf pada anak.

    Ngomongin dendam positif, saya melihat banyak hal yang menyedihkan (menurut saya).
    Banyak orang2 sukses, yang sukses karena (katanya) dendam positif.

    Mereka terlalu sering diremehkan waktu kecil, karena hidup berkekurangan.
    Sama kayak saya.
    Hasilnya, mereka bekerja amat keras, hingga akhirnya sukses.

    Setelah sukses, tanpa mereka sadari, mereka bertindak arogan.
    Karena merasa sudah bisa menunjukan pada orang lain yang meremehkan mereka dulu.

    Emang beda ama kisah mba Eny sih, cuman mendengar kata dendam itu saya jadi teringat akan hal2 buruk yang terjadi pada orang sukses yang sama sekali gak mereka sadari.

    ReplyDelete
  6. berdamai dengan keadaan, lalu bisa menemukan dan menekuni passion itu sesuathu lho mbaa 💕

    ReplyDelete
  7. Suka ceritanya ... dinikmati sambil mendengarkan suara hujan di luar

    ReplyDelete
  8. Keren dan inspiratif, apa yang orangtua minta itu pasti demi kebaikan anaknya, walaupun kadang kita sebagai anak merasa itu nggak sesuai keinginan kita.
    Salut buat mbk enny yang bisa tetap semangat dan menemukan kesenangan dalam pekerjaanya😊👍

    ReplyDelete
  9. Artikel yg sangat menginspirasi mbak,...ternyata dendam yg disalurkan secara positif menghasilkan perubahan yg sangat luar biasa , lalu pada akhirnya mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan

    ReplyDelete
  10. aku juga sama ank2 membebaskan pilihan mereka, apalagi setelah dewasa, keputusan dan tanggung jawab dalam diri mereka.

    ReplyDelete