√ [RelationTips] Pisah atau Maklumi - Duduk Paling Depan

[RelationTips] Pisah atau Maklumi

Saya bukan ahlinya, pengalaman saya juga masih seujung kuku. Tapi dari saya single dulu, saya sering dijadikan tempat curhat tentang masalah rumah tangga dari orang-orang yang lebih tua dan berpengalaman. Saya masuk kerja mulai dari umur 19 tahun, otomatis di kantor rekan saya beragam umurnya. Entah apa yang bikin mereka percaya cerita sama saya yang bisa dibilang "masih bocah" di antara mereka.

Nggak cuma dari rekan kerja sih, dari warga binaan pun ada. Saya kan sempat ditugaskan di bagian penjagaan blok wanita di Lapas. Nah mereka sering cerita tentang latar belakang keluarga termasuk soal rumah tangga. Ada lho, warga binaan yang kasusnya membunuh suami sendiri karena suaminya kasar sama dia. Wanita yang dianggap lemah kalau sudah sakit hati plus nggak kuat iman, bisa melakukan apa saja meskipun resikonya masuk bui. 

Orang-orang yang cerita ke saya itu konfliknya macam-macam. Mulai dari adanya orang ketiga, pasangan yang kasar fisik atau mulutnya, pasangan yang kalau sama teman-temannya care banget tapi sama suami/istrinya sendiri cuek, pasangan yang nggak direstui orangtua meskipun sudah punya cucu, masalah ekonomi, konflik dengan mertua,  dll. 

Bayangin saya yang dulu masih jomlo, dicurhatin begituan bisa ngasih saran apa coba? Andalan saya sih cuma dua : Sabar dan berdo'a. Karena saya nggak punya refrensi apapun untuk memberikan solusi yang mendetail. Lagian kebanyakan mereka mungkin juga hanya butuh didengarkan dan nggak dibocorkan aib rumah tangganya. 

Kalau ada yang cerita sampai nangis begitu saya cuma bisa meluk....dan ikutan nangis. Saya baperan anaknya, ngelihat orang nangis apalagi tahu penyebabnya saya pasti bisa ikutan nangis. Saya suka nggak nyangka kalau orang yang lebih dewasa daripada saya dan kelihatan rumah tangganya baik-baik aja ternyata menyimpan konflik yang bisa meledak kapan saja. 

Sempat lho saya ngerasa ogah nikah, takut menghadapi masalah yang sama seperti yang mereka ceritakan. Kayaknya mendingan jomlo tapi happy daripada menikah tapi tersakiti. Orang-orang yang saya anggap kuat aja bisa sampai sebegitu sedihnya apalagi saya yang mudah baperan ini. 

Namun lama-lama saya sadar, mungkin Allah menakdirkan cerita-cerita itu dalam kehidupan saya untuk diambil pelajarannya. Kita kan bisa belajar dari pengalaman orang lain. 

Saya memutuskan untuk mencari pasangan yang selevel. misalnya penghasilan yang kurang lebih sama, nggak harus PNS juga (tapi ternyata jodohnya PNS, haha) setidaknya jumlah penghasilan harus sama. Karena masalah duit tuh sensitif banget, apalagi kalau sudah berumah tangga kebutuhan tambah banyak. Sering kan kita dengar konflik rumah tangga masalah ekonomi hanya karena penghasilan istri lebih tinggi dari suaminya. Sebenarnya sih nggak masalah kalau istrinya fine-fine aja dan mau membantu, tapi kalau saya lebih memilih seimbang dari awal biar nggak ada kemungkinan konflik karena penghasilan. 

Selain itu selevel dalam pemahaman agama. Misalnya nih, siapa sih yang nggak mau dapat suami sholeh yang hafidz Qur'an, rajin tahajud, uztad yang ceramah dimana-mana. Tapi kalau saya pribadi bertanya ke diri sendiri "sanggup nggak mengimbanginya?" jawaban saya nggak akan sanggup karena hafalan saya masih seujung kuku, sholat wajib masih sering nggak tepat waktu,dll. 

Makanya dulu prinsip saya yang penting suami sholat lima waktu, diusahakan di masjid, dan mau berubah jadi lebih baik. Sudah itu aja sih, nggak ngebet harus yang sholeh banget karena saya sendiri belum sholehah. 

Begitu juga konflik dengan keluarga pasangan, saya lebih memilih jauh tapi manis daripada dekat tapi pahit. Makanya saya rela ikut suami ke daerah yang lebih kecil daripada tempat tinggal saya sebelumnya. Keluarga suami sih baik-baik orangnya, tapi alangkah lebih baiknya kalau kami punya privasi sendiri tanpa campur tangan pihak lain. 

Masih banyak lagi hikmah yang saya ambil dan saya terapkan ketika akhirnya saya memutuskan untuk menikah. Meskipun yang namanya rumah tangga, berantem dan cekcok nggak bisa dihindari tapi alhamdulillah bukan masalah yang besar. 

Menikah itu menyatukan dua orang yang berbeda, mau selama apapun kenal sebelum menikah tapi sifat asli pasangan pasti akan lebih terlihat setelah menikah. Kalau sifat aslinya buruk daripada yang kita kira, pilihannya hanya ada dua. Pisah atau Maklumi.

Tentu saja maksud saya pisah disini bukan berarti ada sedikit sifat buruk pasangan yang kita suka, ujug-ujug besoknya minta cerai, bukan gitu ya. Misalnya ada suami yang tipenya nggak romantis. Istri sudah melakukan berbagai cara untuk menyadarkan suaminya agar berubah. Mulai dari pakai kode, sandi, morse, segala macam tetap suaminya nggak peka. Akhirnya diomongin secara langsung, suaminya malah bilang cara dia romantis bukan dengan kata-kata tapi dengan sikap selama ini dia ngasih nafkah dan mau bantu urus anak. Istri tetap kekeuh itu semua nggak cukup, bagi istri romantis ya kudu pakai bunga lah, puisi cinta lah, kejutan di hari ulang tahun, dll. 

Masalah yang sama terjadi terus berulang-ulang. 

Sebel nggak sih kalau kayak gitu? dua-duanya merasa benar. 

Sekarang kalau saya dicurhatin model begituan saya sudah bisa nanggapin dengan kalimat "kalau nggak tahan ya pisah aja, atau kamu maklumi setiap orang punya wataknya masing-masing. Watak ini terbentuk bertahun-tahun, bisa jadi di lingkungan keluarga suamimu nggak ada tuh namanya ngasih kejutan, yang dia tahu suami harus ngasih duit sama istri tiap bulan dan bantu jaga anak. Jangan harap suamimu bisa berubah sim salabim dalam waktu hitungan jam setelah kamu utarakan isi hati mu sekalipun pakai air mata".

Kelihatannya sepele ya masalahnya? tapi kalau itu terus yang dijadikan bahan berantem bisa sampai terjadi perpisahan lho. Pernah dengar ada kok orang yang bercerai hanya karena suaminya nggak dibikinin sarapan tiap pagi?. Sedangkan istri merasa dia sudah sibuk ngurus anak nggak sempat bikin sarapan pagi-pagi.

Saya pribadi ada cerita tersendiri, suami saya bukan termasuk orang yang romantis dan mudah peka dengan kode-kode istrinya. Lalu saya tanya, dulu dia gimana sih di keluarganya. Ternyata memang dalam keluarganya nggak ada tuh yang namanya ngasih kado saat ulang tahun, hari ibu, atau apalah. Kalau mau ngasih ya ngasih aja. Kalau ada anggota keluarga yang butuh sesuatu ya bilang aja. Kalau ada duitnya pasti dibelikan. 

Lha, pantes kan dia nggak peka. 

Alih-alih memaksanya untuk berubah saya duluan yang mengajarkannya. Misalnya saya kasih jaket baru yang bagian luarnya waterproof tapi bagian dalamnya nyaman dipakai. Karena mas Agus tuh sering ngeluh kalau lagi dinas malam, jaketnya yang lama nggak tahan angin. Jadi meski sudah pakai jaket tetap kedinginan, apalagi kalau sudah hujan makin menggigil dia. Padahal yang namanya penjagaan di lapas harus begadang. Kasian kan, sudah begadang masuk angin pula. 

Dari ceritanya saja saya bisa tahu sebenarnya dia butuh jaket baru. Makanya pas saya kasih dia senang dan selalu dibawa setiap piket malam. Semenjak itu makin kesini mas Agus makin peka, pernah tiba-tiba dia pulang bawa red velvet cake yang segede kue ulang tahun. Dia tahu saya suka banget segala jenis cake, nah beberapa waktu sebelumnya saya pernah bilang pengen makan red velvet tapi disini susah nyarinya.  


Itu cuma contoh kecil, tapi dari situ sya belajar, kita nggak bisa memaksa pasangan untuk berubah sesuai keinginan kita. Namanya watak, karakter, sifat, itu sudah mendarah daging di seseorang. Butuh waktu atau trik khusus untuk membuatnya paham apa yang kita mau. 

Jadi kalau kita nggak mau pisah sama pasangan yang menurut kita sifatnya menyebalkan, ya maklumi karakternya. Imbangi sifatnya, mulailah duluan untuk menyentuh hatinya. Please, jangan terus menerus mengeluh apalagi sampai menceritakan ke orang lain. Jangan sampai sebenarnya masalahnya kecil tapi karena terus-terusan dibahas jadi besar dan bertengkar hebat. Ingat, ketika kita menikah ada banyak hati yang harus kita jaga. Ada anak-anak, ada orang tua dan mertua. 

Saya juga masih terus belajar kok, saya berusaha memahami karakter suami sebagaimana dia juga sabar sama karakter saya yang baperan dan mudah sensi ini. Untuk itu lah kita menikah, kan? agar mampu mengelola emosi, belajar sabar, memaklumi, menerima dan  memberi.

source : pinterest




Get notifications from this blog

5 comments

  1. Susah kalau mengharapkan suami berubah karena kita ketemunya udah gede, dalam diri suami sudah tertanam ajaran keluarganya & tempaan pengalaman hidupnya. Kalau pengin bgt suami berubah spt yg kita inginkan, doanya aja yg kenceng krn kalau kita cuma kita kasih tau, dia butuh usaha keras utk melawan apa yg sdh telanjur tertanam. Dia sendiri kudu punya tekad.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Beneer banget mba Lusi, cuma Allah Maha pembolak balik hati manusia.

      Delete
  2. pasangan yang kalau sama teman-temannya care banget tapi sama suami/istrinya sendiri cuek ini bahaya banget mba nah justru yang humble itu rentan selingkuh, udah gitu kan mending sedang2 saja, ga romantis juga gpp yang penting tanggung jawab, saya lebih seneng klo suami membahagiakan saya daripada modal gombal doang kwkwk bener banget soal ngimbangin, saya juga dulu pengen jodoh yang rajin sholat kalo tambah yg lain-lain harus ngaca kita nya kuat ikutin ga hahha tfs mbaaa semoga keluarga kita tentram selalu aamiin

    ReplyDelete
  3. Sampe bibir jeding ngomong biar suami begini begitu ga akan mempan bener kata mba Lusi diatas karena kita ketemu suami setelah ia melewati ajaran, didikan dan habit yang udah lama jadi mau ga mau juga bener kata mba kita yang mulai menyesuaikan diri dan utamanya emang kencengin doa hanya Alloh pemilik hatinya dan pembolak balik hatinya :)

    btw cerita2nya aga serem juga y mba klau di lapas hehehe

    ReplyDelete
  4. Halo kak, saya pribadi belum menikah tapi ini menjadi pembelajaran untuk saya. Kata manisnya dari maklumi setelah saya baca di atas adalah, kita harus menerima pasangan kita baik buruknya. Bukan hanya dimaklumi, tapi memang seperti itu wataknya. Kita yang bersabar menghadapinya dan pelan-pelan mencoba untuk menjadi lebih baik. Terima kasih banyak sudah menulis ini kak. :)

    ReplyDelete