Cerpen : Pertemuan Empat Belas Tahun
PERTEMUAN EMPAT BELAS TAHUN
Oleh
: DudukPalingDepan
Pagi itu Agung
melaksanakan pekerjaan rumah seperti biasa. Agung sudah terbiasa bangun jam
empat subuh dan bergegas mengangkut air dari sumur belakang untuk memenuhi bak
mandi. Tugas Agung bukan hanya mengangkut air tapi juga mencuci baju, mencuci
piring, menyapu lantai, merebus air dan memasak. Pekerjaan rumah yang pada
umumnya dilakukan ibu rumah tangga harus dilakoni oleh anak yang baru berumur
empat belas tahun.
Agung ikhlas
melakukan semua pekerjaan rumah tersebut. Karena hanya itu yang bisa dia lakukan
untuk meringankan beban bapak. Agung ingin sekali membantu bapak mencari uang,
tapi bapak bilang Agung harus fokus terhadap sekolahnya, dia tidak boleh
menjadi seperti bapak.
Bapak adalah lelaki
berumur tiga puluh delapan tahun namun wajahnya kelihatan jauh lebih tua
daripada umurnya. Mungkin karena bapak adalah pekerja keras yang memanfaatkan
otot dan tenaganya untuk mengumpulkan rupiah. Bapak adalah seorang kuli angkut
di pasar. Dia keluar rumah pagi-pagi sekali dan baru pulang ketika lewat
magrib. Kulit bapak hitam karena sehari-hari berteman dengan terik mentari,
tangannya kasar dan kapalan. Bapak juga sangat kurus karena bapak tidak pernah
makan lebih dari satu piring nasi setiap hari. Meskipun begitu, bagi Agung
bapak adalah lelaki tergagah yang paling dia kasihi.
“ini sarapannya, Pak” Agung meletakkan segelas kopi hitam dan
sepiring kecil singkong rebus di atas meja.
“iya, Gung. Ngomong-ngomong gimana sekolahmu nak?” Bapak menatap
Agung yang sibuk memasang dasi di lehernya.
“Baik, pak. Bulan depan Agung UAS (Ujian Akhir Semester). Do’akan supaya
semester ini Agung dapat rangking lagi ya”
“Selalu.
Do’a bapak selalu ada untuk Agung”
Agung nyengir dengan
menampakkan giginya yang putih dan rapi kemudian ikut mencomot singkong rebus
di atas meja. Bapak menatap agung yang sedang mengunyah singkong rebus sembari
membolak-balik buku pelajarannya, hal yang setiap pagi dilakukan Agung sebelum
berangkat sekolah. Bapak begitu mencintai anak semata wayangnya. Baginya Agung
adalah harta paling berharga yang dititipkan Tuhan untuknya. Itulah mengapa
meskipun bapak harus bekerja keras membanting tulang menjadi kuli angkut di
pasar setiap harinya yang bermandikan peluh, bapak tidak pernah mengeluh.
Baginya semua lelah akan hilang ketika menyaksikan Agung tumbuh menjadi anak
yang sehat dan cerdas.
Bapak ingat sekali
hari dimana Agung terlahir ke dunia. Tangisan agung bagaikan suara surga yang
sampai ke telinga bapak. Pelan-pelan bapak menggendong Agung dan melantunkan
adzan ditelinganya. Agung terlahir sehat dan sempurna. Meskipun sewaktu Agung
masih dalam kandungan berusia enam bulan, ibunya pernah mencoba membunuh
janinnya sendiri dengan meminum jamu khusus untuk menggugurkan kandungan.
Syukurlah bapak yang waktu itu baru pulang dari pasar dan terkejut melihat istrinya
pingsan langsung membawanya ke rumah sakit. Allah melindungi Agung, janin di
dalam perut istrinya baik-baik saja.
“Pak, sudah jam setengah tujuh nih ayo kita berangkat” Suara Agung
membuyarkan lamunan bapak.
“Ah, ayo nak. Periksa sekali lagi perlengkapan sekolahmu. Jangan sampai
ada yang terlupa” Bapak mengingatkan sembari beranjak dari tempat duduknya,
mengambil topi dan mengeluarkan gerobak kayu dari samping gubuk mereka.
Agung melangkah riang
disamping bapaknya yang berjalan sembari menarik gerobak kosong sebagai modal
kerja untuk mengangkut barang-barang di pasar. Waktu masih SD agung malah naik
di atas gerobak sampai ke sekolah. Agung tidak malu sama sekali, bahkan dia
mengajak beberapa teman yang sedang berjalan kaki untuk naik gerobak bersamanya
sampai ke sekolah. Bapak yang berkeringat karena menarik gerobak berisi
anak-anak tersebut hanya tersenyum senang. Karena bagi bapak keceriaan Agung
adalah hal yang utama.
Agung dan bapak
berpisah di persimpangan jalan karena pasar dan gedung SMP Agung berlainan
arah. Tidak lupa Agung mencium punggung tangan bapaknya dengan khitmat dan
bapak mengelus rambut agung dengan lembut sembari berpesan untuk jangan nakal
di sekolah dan belajar yang rajin. Agung mengangguk dan kembali melanjutkan
langkah menuju sekolah.
“Gung, uang jajanmu nak” Bapak kembali memanggil Agung karena dia
hampir lupa memberikan uang jajan.
“Nggak pak, Agung udah kenyang” Agung malah semakin mempercepat
langkahnya hingga setengah berlari.
Agung sudah terbiasa
tidak jajan di sekolah. Baginya, singkong rebus di pagi hari sudah cukup
menjadi asupan energi untuk menyerap ilmu di sekolah. Bukan karena bapak pelit
atau tidak punya uang untuk jajan Agung, tapi lebih karena dia ingin bapak
menyimpan uangnya untuk kesenangan bapak sendiri. Agung ingin bapaknya tidak
hanya makan nasi putih dan telur goreng, dia ingin sesekali saat istirahat
siang bapak membeli nasi bungkus lauk ayam goreng atau rendang di rumah makan
di pasar tempat bapak bekerja. Agung begitu mencintai bapak, lebih baik puasa
di sekolah dan bapak bisa makan enak di pasar.
Bapak menatap agung
yang semakin menjauh. Agung selalu begitu, kalau bukan bapak yang kadang-kadang
harus menyelipkan uang ke dalam tas sekolahnya Agung tidak akan membawa uang
jajan. Bukan karena bapak pelit atau tidak punya uang, untuk agung bapak akan
selalu menyisihkan uang hasil kerja kerasnya, namun Agung sendiri yang kerap
menolak diberi uang jajan. Padahal bapak rela setiap hari hanya makan nasi dan
telur goreng supaya Agung bisa jajan di sekolah.
Bapak menghela nafas
dan kembali menarik gerobaknya menuju pasar.
***
Seperti biasa pasar
selalu ramai dengan suara riuh rendah antara penjual dan pembeli yang saling
tawar menawar agar kedua belah pihak mendapatkan harga yang pas. Bapak sedari
pagi sibuk bolak balik mengangkut barang dari truk ke toko Koh Asyong yang
memasok sembako di pasar tersebut. Koh Asyong orang yang baik, setiap dia perlu
tenaga untuk mengangkut barang-barang ke tokonya, dia selalu mencari bapak.
Bapak orangnya rajin dan ulet begitu kata koh Asyong. Bapak juga menghormati
koh Asyong karena selain beliau termasuk salah satu pemilik toko besar di pasar
ini, dia juga sering memberikan upah lebih untuk bapak. “untuk jajan anak” begitu kata koh Asyong saat membayarkan upah lebh
dari yang semestinya.
Setelah beberapa kali
bolak balik mengangkat barang, bapak istirahat sejenak di tepi tumpukan karung
gandum di toko koh Asyong. Bapak mengibas-ngibaskan topinya untuk mendapatkan
sedikit angin guna mengeringkan peluh yang bercucuran di wajahnya.
“Suharman. Kamu Suharman, kan?” Bapak menoleh karena merasa ada yang
menyebut namanya. Terkejut bapak ketika melihat siapa yang memanggil namanya.
“Tanti, kenapa kamu bisa ada disini?” Bapak langsung mengenali sosok
wanita di depannya yang telah empat belas tahun tidak pernah bertemu.
Kemudian bapak dan
perempuan yang bernama Tanti tersebut duduk bersama di salah satu rumah makan
di pasar. Bapak meneguk es teh yang tersedia di atas meja sambil tetap melihat
wanita yang saat ini duduk di depannya. Bapak heran, kenapa takdir kembali
mempertemukan bapak dengan wanita ini.
“Jadi.. kamu kerja di pasar ini setiap hari?” Wanita yang berparas
cantik dengan bibir tipis yang dipoles lipstik merah itu memulai pembicaraan.
“Iya, aku jadi kuli angkut disini. Apa kabar kamu? sudah empat belas
tahun kita tidak berjumpa” Bapak berbicara sambil menyelipkan nada sinis
dalam kalimatnya.
“Kabarku baik. Aku baru sebulan tinggal di kota ini karena suamiku harus
pindah tugas kesini. Aku juga baru pertama kali ke pasar ini dan aku juga tidak
menyangka bertemu denganmu disini. Sekarang kau tinggal dimana?”
“Tidak
jauh dari sini”
”Dengan siapa kau tinggal?”
“Apa
pedulimu?”
Perempuan itu
menghela nafas.
“Bisakah nada bicaramu tidak usah sinis begitu? Aku tau kehadiranku
mungkin mengejutkanmu. Tapi aku sangat bersyukur hari ini kita bertemu disini.
Kau tahu, ketika suamiku bilang akan pindah ke kota ini aku sangat senang. Aku
bertekad akan memulai pencarianku di kota ini. Aku merindukan dia, Suharman.
Anakku. Apa dia tinggal denganmu sekarang? Bagaimana dia? Sudah sebesar apa dia
sekarang? Kelas berapa? Dia sekolah kan?”
Bapak tidak menjawab
pertanyaan-pertanyaan perempuan tersebut. Bapak menunduk dan mengepal tangannya
kuat-kuat, ingatan bapak kembali ke empat belas tahun silam.
Bapak sewaktu muda
menjadi idola para gadis karena gayanya yang perlente, dulu diantara
teman-temannya hanya bapak yang mampu memakai motor gede karena memang bapak anak seorang pengusaha sukses. Bapak juga
orangnya ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Mungkin karena itulah
seorang gadis bernama Tanti jatuh hati kepada bapak. Bapak yang terpikat dengan
kecantikan gadis tersebut akhirnya memilih dia menjadi istrinya.
Kehidupan rumah tangga
bapak berjalan lancar dan bahagia sampai pada suatu hari bapak mendapat kabar
kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil saat hendak menuju luar kota
untuk urusan bisnis. Bapak benar-benar terpukul, bapak kehilangan pegangan.
Tidak ada yang meneruskan
bisnis orangtua Suharman, dia yang waktu itu terbiasa dengan kemewahan yang
diberikan orangtuanya benar-benar menyesal kenapa dulu tidak melanjutkan kuliah
di jurusan bisnis. Alhasil, hanya dalam hitungan bulan harta kedua orangtuanya
habis untuk membayar hutang perusahaan yang kemudian disita oleh bank dan untuk
keperluan hidup bapak dan istrinya yang tengah hamil muda.
Tidak ada pekerjaan,
harta mulai habis, membuat cinta Tanti luntur kepada Suharman. Namun perutnya
yang membuncit karena mengandung buah dari hasil cinta mereka membuat Tanti
tidak bisa meninggalkan Suharman begitu saja. Sempat Tanti mencoba menggugurkan
kandungannya, karena dia pikir percuma anak ini lahir kalau hanya untuk hidup
susah di dunia. Namun takdir menetapkan anak itu harus lahir ke dunia.
Tanti mencintai
anakknya, namun kilaunya harta dunia membuat Tanti pergi dengan lelaki lain
yang lebih mapan. Anaknya ditinggalkan begitu saja di atas dipan dengan sepucuk
surat yang berisi pesan kepada Suharman untuk mengurus anak mereka, sementara
dia sudah tidak tahan hidup dalam kemiskinan.
Bapak mengendurkan
kepalan tangannya. Semenjak hari itu bapak berjanji kepada diri sendiri untuk
bekerja keras merawat dan membesarkan Agung. Meskipun hati bapak sangat hancur
karena ditinggal perempuan yang sangat ia cintai namun bapak berjanji untuk
terus tegar demi Agung. Pernah beberapa kali Agung menanyakan tentang sosok
ibu, terpaksa bapak mengajak agung ke pemakaman, bapak memilih sebuah kuburan
dan mengatakan itulah ibu agung yang harus pergi ketika melahirkan dia. Agung
kecil menangis tersedu-sedu, dia merasa berdosa karena dirinyalah ibu harus
kehilangan nyawa. Semenjak itu Agung berjanji akan menjadi anak baik dan patuh
kepada bapak sebagai balas jasa pengorbanan ibu. Bapak terpaksa berbohong,
Agung akan lebih terluka hatinya jika tahu kenyataan yang sebenarnya.
“Suharman, izinkan aku bertemu anakku” Tanti membuka suara kembali
karena sedari tadi lelaki di hadapannya hanya menunduk dan diam.
“Agung sudah hidup bahagia selama ini. Meskipun aku hanya seorang kuli
angkut di pasar, tapi dia kudidik untuk selalu bersyukur dengan kesederhanaan.
Aku mengatakan bahwa ibunya sudah mati ketika melahirkannya ke dunia. Dia akan
bingung dan terkejut saat tahu bahwa ada wanita yang mengaku sebagai ibunya. Bukankah
dalam suratmu empat belas tahun yang lalu kau sudah mantap meninggalkan kami?
Bukankah sekarang sudah kau dapatkan kemewahan yang kau inginkan!” Bapak
berbicara sambil menahan sesak di dalam dadanya.
Gantian kini Tanti
yang tertunduk dalam. Apa yang dibilang Suharman tidak ada yang salah. Empat
belas tahun lamanya dia meninggalkan suami dan anaknya hanya demi mengejar
harta dunia. Selama empat belas tahun pula bukan kebahagiaan yang Tanti rasakan
namun rasa bersalah. Mungkin suaminya yang sekarang memberikan rumah dan
kendaraan yang mewah, namun tetap saja jauh di dalam hatinya Tanti merasakan
sakit yang luar biasa. Terutama ketika dia melihat sosok bapak-bapak yang
menggendong anak lelaki, dia langsung teringat Suharman dan anaknya yang
ternyata diberi nama Agung. Oh, jika ada yang mampu menebus dosanya pasti akan
Tanti lakukan.
Dengan berlinang air
mata, Tanti meninggalkan Suharman saat itu juga. Bapak memandang kepergian
wanita itu dengan berkaca-kaca. Jujur di dalam hatinya, bapak merindukan wanita
yang dari dulu sampai detik ini masih dicintainya.
***
Semenjak pertemuan
itu, bapak terlihat murung. Ketika Agung menanyakan apa alasan yang membuat
bapak terlihat murung, bapak hanya menjawab dengan senyuman dan mengatakan
bahwa bapak hanya kecapekan. Bapak tidak ingin Agung tahu bahwa hatinya
dilandah gundah gulana semenjak pertemuan dengan Tanti. Di satu sisi, dia ingin
Tanti melihat bahwa buah cinta mereka tumbuh sehat, cerdas dan bagus budi pekertinya. Namun di lain sisi,
kekecewaan karena pernah ditinggalkan membuat bapak ingin melupakan sosok
wanita tersebut.
Agung
sedih melihat bapak murung terus. Sempat Agung terfikir mungkin bapak kesepian.
Bapak tidak pernah mau menikah lagi semenjak ibu tiada. Bapak bilang, Bapak
tidak butuh siapapun lagi karena sudah ada Agung disisinya. Padahal, diam-diam
Agung juga merindukan sosok ibu. Agung sangat senang mengarang, namun Agung
meringis sedih saat guru Bahasa Indonesia memberikan tugas mengarang bertemakan
kasih sayang ibu. Karena jangankan kasih sayang, melihat sosok ibunya
sendiripun dia tidak pernah. Bapak bilang, foto-foto ibu sudah lama hilang saat
terjadi musibah banjir dulu.
Pun
semenjak pertemuan dengan Suharman waktu itu, Tanti juga banyak melamun di
rumahnya yang megah nan indah. Tanti tidak dikaruniai anak dengan suaminya yang
kaya raya. Suaminya pun hanya menjadikan Tanti sebagai budak penjaga rumah
karena selain mengurus bisnisnya dengan terang-terangan dia menikah dengan
wanita lain yang lebih muda dan dapat memberikan keturunan. Tanti tidak pernah
meminta cerai karena meski suaminya jelas-jelas mendua, dia tetap diberikan
uang dan fasilitas mewah setiap bulan. Sungguh harta telah membutakan mata
hatinya.
Namun
kalimat Suharman saat pertemuan mereka beberapa waktu lalu membuat tanti banyak
berfikir. Setiap Tanti mengingat nama “Agung” ada rasa sesak di dalam dadanya.
Naluri seorang ibu perlahan membuka mata hatinya yang selama ini buta hanya
demi harta.
Sama
seperti empat belas tahun yang lalu, Tanti akhirnya kembali membuat keputusan
bulat yang akan dia jalani.
***
Malam
itu Agung tengah membaca buku matematika ditemani bapak yang juga asyik membaca
koran. Begitulah bapak, meskipun pendidikannya tidak tinggi namun beliau selalu
haus akan ilmu dan informasi. Hobi Membaca Agung ditularkan oleh bapak.
Namun
Agung tidak sepenuhnya berkonsentrasi dengan rumus-rumus yang ada didalam buku
matematikanya, sebentar-sebentar agung melirik ke arah pintu rumah kecil ini.
Ada sesuatu yang ditunggunya, rasanya hati Agung meletup-letup tidak karuan
menunggu kedatangan seseorang.
“Assalamualaikum...” Ada yang mengucapkan
salam sambil mengetuk pintu rumah Agung.
Agung
melemparkan buku matematikanya begitu saja dan cepat-cepat menuju pintu. Bapak
ikut-ikutan melihat ke arah pintu dan alangkah kagetnya bapak ketika melihat
sosok yang berdiri ketika agung membuka pintu.
Agung
langsung memeluk erat sosok itu. Agung melampiaskan semua kerinduannya selama
ini melalui pelukan tersebut. Begitu pula dengan wanita tersebut, dipeluknya
kuat sembari dielus dan diciumnya kepala Agung dengan penuh kasih sayang.
“Tanti.. kenapa kau bisa tahu rumah ini?” Bapak
akhirnya membuka suara setelah menjadi penonton adegan ibu dan anak tersebut.
“Pak... Agung sudah tahu semuanya” Agung
melepaskan pelukannya dan menjelaskan semuanya “Beberapa hari yang lalu ibu datang ke sekolah Agung. Agung kaget waktu
ibu ini mengaku sebagai ibunya Agung. Bukannya bapak pernah bilang kalau ibu
sudah meninggal saat melahirkan agung. Tapi kemudian ibu menceritakan semuanya.
Ibu bahkan masih ingat bahwa Agung punya tanda lahir di punggung. Ibu bilang
untuk menebus semua kesalahannya ibu rela meninggalkan suaminya yang kaya raya
itu, Ibu akan tinggal bersama kita di rumah reot ini. Ibu janji nggak akan
meninggalkan Agung lagi. Ibu janji juga tidak akan menyia-nyiakan bapak lagi.
Pak, Agung tahu mungkin bagi bapak nggak mudah untuk merima ibu kembali. Tapi
bukannya bapak yang selalu mengajarkan Agung untuk nggak dendam dan memaafkan
orang yang sudah menyakiti kita? Agung juga tahu bahwa bapak masih sangat mencintai
ibu. Agung pernah menemukan kertas bertuliskan “Tanti” di dalam sarung bantal
bapak. Pak, Agung mohon maafkan ibu.”
Bapak
tidak menjawab perkataan Agung. Mata bapak berkaca-kaca. Perlahan dia berjalan
menuju Agung dan diraihnya anak itu. Dipeluk dan diciumnya Agung. Sungguh bapak
terharu bahwa bocah empat belas tahun ini lebih mampu berbesar hati daripada
dirinya sendiri.
Bapak menoleh ke arah Tanti.
Bapak menghela nafas dan kemudian tersenyum.
***
Harta
mungkin membuat kita jatuh cinta, namun cinta berlandaskan harta akan menguap
ketika ia tak lagi bertahta. Namun seberapa jauh sesorang yang kita cintai
pergi, cinta yang tulus akan membawanya kembali. Bapak, Agung dan ibunya
percaya bahwa cinta tidak pernah gagal dalam menciptakan kebahagiaan.
***
Get notifications from this blog
Baca 10 menitan..
ReplyDeleteJadi terharu bacanya..
Cinta memang buta, tapi suatu saat cinta itu juga yang menyadarkan bahwa cinta itu sebenarnya tidaklah buta. :)
Salam Takzim
ReplyDeleteCinta terhadap anak memang segalanya dan cinta ibu sepanjang waktu, semoga menjadi bahan renungan bagi para pasangan muda yang harus berpisah atau terpisah
Salam Takzim Batavusqu
Bagus, jadi ingat juga sudah lama gak menulis cerpen. Nulis cerpen tentang warga binaan dong. :))
ReplyDelete